Transformasi Telur Dan Manusia Optimistik
Penulis : Muh.Rafly Setiawan
Satwa yang dapat bertelur disebut dalam pengertian ovipar. Tahukah anda bahwa telur itu punya kebermanfaatan lebih, selain mengandung protein, juga dapat memberi beragam vitamin untuk fisik manusia. Nah, saya mengulik lebih jauh agar kita belajar dari telur yang pecah.
Seekor induk betina, seperti spesies unggas (yang masuk kategori ovipar) dapat menghasilkan telur. Sudah barang tentu, melalui hasil hubungan perkawinan dengan—sebut saja—ayam jantan. Dari proses itu, si betina mampu memproduksi telur hingga puluhan butir.
Kalau induk betina mengerami telurnya, maka akan terjaga keturunannya. Artinya apa? Pasti memunculkan beberapa anak ayam yang tentu warnanya mempunyai masing-masing perbedaan.
Manusia pun demikian, kalau melahirkan belum tentu mirip dengan anak orang lain? Lantaran wajah kedua orang tuanya akan kecentol dengan genetik sang anak. Pastinya berbeda dengan anak dari orang lain, entah dari segi fisik (biologis), agama, status sosial, pemikiran, kelopak mata, dan masih banyak lagi. Jika saya tulis satu persatu, bisa panjang daftarnya.
Saya kembali, mengapa telur itu harus dipecahkan? Sesungguhnya telur begitu multi-benefit buat manusia. Impact untuk manusia, salah satunya dapat menjaga kebugaran dan meningkatkan imunitas tubuh.
Namun demikian, yang saya maksud adalah banyak hal yang dapat diserap untuk membuat manusia agar optimis dalam dinamika kehidupan. Sehingga tidak selalu mengeluh dan pesimis atas sekelumit persoalan hidupnya. Faktor ini yang kerap membuat manusia, mengalienasi dirinya sendiri.
Kadang-kadang saya menemui orang-orang yang menghakimi dirinya. "Saya tidak dapat menulis, saya tidak dapat berbuat jika melihat kesengsaraan yang merajalela dan hanya tinggal diam, saya gagap teknologi makanya kurang update, saya inilah dan itulah, bla bla bla". Ini seringkali awal dari penyangsian diri sendiri.
Saya coba memberitahukan bahwa telur itu bertransformasi sesuai dengan kebutuhan manusia. Apabila manusia hendak membuat telur sesuai dengan seleranya, maka yang harus pertama kali dilakukan adalah memecahkannya.
Seperti misalnya, kalau kita sedang mau makan telur rebus, maka perlu dipadukan dengan air mendidih. Kemudian setelah mendidih lebih dari 100 derajat celcius dan direndam telur tersebut bersamaan rebusan air itu, maka kita dapat mencicipi telur rebus sesuai keinginan kita.
Ataukah kita mau membikin telur dadar untuk menambah kenikmatan makanan. Jadi, sediakan wadah kecil terus kemudian pecahkan telur itu, dan kocok-kocok hingga rata. Selanjutnya, taburi di wajan yang telah disiapkan. Oleh karenanya, kita dapat makan telur dadar yang sesuai keinginan kita.
Terus bagaimana hubungannya dengan sikap optimistik manusia? Mengapa harus saya singgung hal seperti ini? Bagaimana mungkin hal itu mampu membuat manusia menjadi lebih transformatif?
Saya menarik korelasinya bahwa kalau kita hendak bersikap optimistik, maka kita perlu membendung gejolak batin yang seringkali menghambat gerak kita secara aktif. Hal yang lumrah dan manusiawi jika menemui situasi seperti itu.
Misalnya pertanyaan yang terlontar seperti, "saya kerap mengantuk kalau membaca, atau saya tidak mau menulis karena saya malu kalau tulisanku dibaca dan jelek". Makanya situasi itu dapat membuat kita dilematis dalam mengerjakan satu hal.
Setelah melihat beragam transformatif dari telur, harusnya kita menyadari bahwa untuk mengerjakan satu hal tak mesti banyak pertimbangan. Cukup lakukan saja dulu apa yang harus diperbuat.
Contoh misalnya, bagaimana mau diketahui bahwa kita sanggup menulis kalau kita tidak pernah melakukannya? Sama dengan telur tersebut, bagaimana mungkin telur ayam bisa menjadi telur rebus kalau tidak dipecahkan terus kemudian direbus bersamaan air di dalam panci hingga mendidih? Jadi untuk memulai satu hal, lakukan semudah mungkin, seperti kita dengan mudahnya memecahkan telur dan bereksperimen sesuai dengan harapan yang diinginkan.
Tentu tranformasi itu akan menghadirkan semacam inovasi baru untuk diri sendiri. Karena aktualisasi itu selaras dengan wujud optimistik kita. Walaupun kadang-kadang, sikap pesimis selalu saja datang tidak diundang. Namun itu bukan hambatan agar membuat kita lebih ekspresif dan multi-peran.
Pertimbangan-pertimbangan yang menghambat potensi kita, selayaknya dapat diatasi secepat mungkin. Karena hal itulah yang membuat seseorang bermalas-malasan dan acapkali menghakimi dirinya sendiri.
Sebenarnya yang menganggu produktifitas kita, datang dari diri kita sendiri. Bukan malah faktor eksternal, seperti cibiran orang lain. Kita harus mendengarkan kritikan yang konstruktif, namun jika mendapati kritikan destruktif kita jangan masukkan dalam hati. Boleh jadi, orang lain iri melihat kualitasi diri semakin signifikan. Cukup jadikan pembelajaran agar tidak terjebak pada sikap pesimistik dan penyangsian diri sendiri.
Kayak fenomena yang sedang dihadapi, soal wabah Covid-19. Tentu hal ini cukup memudahkan kita semakin getol menulis. Karena aktivitas dapat dilakukan di dalam rumah. Tidak patut kita hanya tinggal berdiam diri di rumah, lantaran hanya menyita waktu kita secara sia-sia.
Seyogianya, kreatifitas dalam menyelesaikan gejolak batin, membuat kita semakin mudah menghadapi problem hidup. Yang perlu digaris bawahi adalah self-confidence itu perlu pelatihan rutin dalam menguji tingkat optimis kita sehari-hari. Sehingga self-cencorship akan menjadi penguatnya dalam menjalani kehidupan.
Ayo pecahkan telurnya, dan beranilah mencoba. Sehingga lama-kelamaan menjadi pembiasaan diri. Sudah batang tentu, kita senantiasa dapat memahami segala perihal peristiwa dengan sikap optimistik. Jika gagal coba lagi, jangan putus asa!
Komentar
Posting Komentar