Pasar Berbeda Dengan Mesjid

Penulis : Muh. Rafly Setiawan



Sekarang ini, muncul fenomena sosial baru yang sama sekali tidak relevan dengan konteksnya. Mengapa demikian? Beragam kontroversi yang berseliweran di media sosial yang menyatakan bahwa, "Mesjid kok ditutup, sedangkan pasar masih buka". Kekeliruan dalam berpikir saya rasa, karena tidak ada sama sekali korelasi dari kedua tempat tersebut.

Umat muslim begitu galau, lantaran memasuki perayaan Idul Fitri mesti dilakukan "dirumah aja". Kendati demikian, marak reaksi negatif yang memberikan justice bias pada sisi yang paradoksal. Lha, kok bisa? Iyalah, tak etis jika persinggungan ini justru mencemburui pasar (transaksi ekonomis) akibat tidak diizinkan tempat peribadatan beroperasi.

Saya sekali lagi tidak ada maksud untuk merendahkan status sosial dari mesjid. Karena saya tidak membangun hatespeech terhadap muslim. Saya akui, agama saya juga islam, namun pola pemikiran kita masih terlampau jauh primitif (tertinggal 100 tahun kebelakang).

Upaya pemerintah mengeluarkan maklumat terkini soal melakukan ibadah Hari Raya di rumah saja, merupakan langkah protektif dan preventif dalam memutus laju perkembangan wabah Covid-19. Terjadi ekses korban-korban yang selalu signifikan di setiap harinya. Entah, takeline "#TerserahIndonesia" muncul, diakibatkan bentuk keresahan dari tenaga medis yang meronta-ronta melihat masyarakat yang batu talinga (tidak mau mendengarkan) berbagai kebijakan populis pemerintah yang berkaitan dengan antisipatif Covid-19.

Namun demikian, saya memakai kacamata spiritual dalam mengamati beragam maklumat pemerintah yang mestinya didengarkan oleh kita semua. Betapapun mengharuskan umat muslim, menjalankan ibadah dirumah saja. Bukan berarti, kita menyetop hablumminallah dan habluminannas jika aktivitas hanya dirumah. Toh masih tersedia, sarana dan prasarana yang dapat mengikat kembali hubungan vertikal dan horizontal sebagai hamba dan sesama ciptaan.

Di wilayah metropolitan dan perkotaan kecil, sangatlah membutuhkan kehadiran pasar untuk tetap beroperasi. Karena dengan hal itu, masyarakat urban dapat menyediakan segala kebutuhannya sehari-hari. Sedangkan untuk beribadah, dapat dilakukan dimana saja, bukan hanya di Mesjid.

Mesjid hanya sebagai salah satu medium tempat kita menghadap sang Ilahi. Apabila hendak melakukan ritual ibadah (khusus umat muslim) sekarang ini, rumah merupakan the best alternatif, dan tidak menurunkan parameter pahala kita. Lantaran itu, tak elok rasanya jika menyamakan antara mesjid dan pasar.

Kita ketahui bersama bahwa, khusus daerah perkotaan, nyaris ditemukan urban farming yang dapat membukan lahan untuk bercocok tanam. Karena kualitas tanah di perkotaan tak seperti di wilayah pedesaan. Hanya memungkinkan untuk menanam tanaman hidroponik saja. Tidak kayak di pedesaan, yang memungkinkan untuk bertani secara rutin guna menanam kebutuhan primer, sekunder, dan tersier.

Masyarakat perkotaan, amat bergantung dengan kehadiran pasar, baik itu pasar tradisional maupun modern. Tetapi yang perlu dijadikan landasan supaya tetap pada kerangka substansial dari maklumat pemerintah adalah, kontrol dan penertibaan serta penjagaan secara ketat harus diindahkan oleh pegawai perniagaan. Ini merupakan langkah efektif agar tetap bertransaksi untuk dapat menyediakan kebutuhan sehari-hari, seraya protokoler kesehatan dilakukan agar korban jiwa tidak bertambah kurvanya pada setiap hari.

Kita sama-sama mengharapkan bahwa, Hari Raya Idul Fitri dapat dilakukan dengan khidmat. Meskipun saat ini, mengharuskan umat muslim untuk beribadah dirumah saja. Perlu paradigma holistik agar tetap proporsional dalam menelaah problem fenomena sosial yang terjadi.

Mau bagaimana lagi, jika kita tetap tidak mendengarkan kebijakan pemerintah yang amat mendatangkan maslahat, berarti ada yang salah dalam pemikiran kita. Seharusnya, kebijakan populis senantiasa kita dengarkan, meski harus menganggu aktivitas ibadah. Tidak menganggu sih sebenarnya, karena ibadah dapat dikerjakan rumah. Dimana tanah dipijak, disitu kita dapat bersujud bukan?

Saya sangat apresiatif dengan tenaga medis yang berjuang pada lini terdepan dalam menghambat pergerakan wabah Covid-19. Telah banyak menelan korban jiwa dari pandemi tersebut, tak terkecuali orang-orang yang berjuang untuk kemanusiaan, seperti tanag media. Kita mengharapkan, mereka yang berperan aktif senantiasa sehat dan terhindar dari penularan pandemi Covid-19. Pahlawan hari ini adalah mereka yang mengorbankan segenap jiwa dan raganya untuk memberikan kelangsungan hidup bagi banyak orang.

Semoga kita dapat bertemu di Hari Raya Idul Fitri selanjutnya. Tentunya, wabah Covid-19 tidak lagi ditemukan, supaya pemikiran kita dapat terawat dan corak pemikiran secara multi dimensional.

Selamat hari raya idul fitri, mohon maaf lahir dan batin. Kemenangan kita tidak tertunda hari ini, melainkan kita masih dapat mencicipi buah kemenangan dari sebulan lamanya beribadah di bulan Ramadhan.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Akhir Tahun ( Tidak hanya mengetahui, Indonesia harus dimengerti )

Desa Sebagai Lapisan Pemerintahan Paling Dekat Dengan Rakyat

Moderasi Berpikir dan Fenomena 'Syariatisasi'