Moderasi Berpikir dan Fenomena 'Syariatisasi'
Rabu 30 juli lalu, diskusi hangat berlangsung sejak pukul 21.00 hingga 22.30 WITA di salahsatu channel TV nasional. Mata Najwa, demikian nama program acara perpekan yang dimaksudkan. Beberapa tokoh nasional, terlibat dalam diskusi, antara lain: KH. Marsudi Syuhud, Maman Imanulhaq, Lutfi (Direktur Ormas Ditjen Polpum Kemendagri), Mardani Ali Sera, Awit Mashuri dan lainnya.
Dalam acara yang dipandu oleh Najwa Shihab, mendiskusikan salahsatu isu yang kontroversial saat ini. Pasalnya, mengangkat tema "FPI : simalakama ORMAS". Center point diskusinya terkait perpanjangan izin (SKT) ormas yang disebutkan. Namun belakangan menyeruak ke berbagai poin lainnya, Walau memang tak bisa dipungkiri keterkaitannya satu sama lain.
Diskusi tersebut, menurut hemat penulis cukup alot. Mba Nana (red. Najwa Shihab) kerap terlihat mengambil tindakan untuk "memotong" argumen yang dilontarkan oleh para pembicara demi menjaga stabilitas dan kondusifitas berlangsungnya acara.
Adapun para pembicara, satu sama lain menyodorkan argumentasi terkait isu yang sementara dibahas. Ada yang terdengar afirmatif, konfirmatif, klarifikatif, dan ragam jurus silat lidah pamungkas yang oleh mereka peragakan.
Dalam salahsatu sesi acara ini, ada hal yang membuat pikiran penulis terbelalak. Saat KH. Marsudi Syuhud, salah seorang Kyai petinggi PBNU melontarkan argumen "Kita gak usah takut-takut amat dengan kata syariah. Karena sesungguhnya dimana saja ada kemaslahatan, maka disitu sudah syariah.
Maka mencari syariah gak usah susah-susah", ujar beliau. Ihwal yang perlu digarisbawahi: "jangan takut amat pada kata syariah". Atau barangkali boleh disepadankan dengan "jangan phobia syar'i", untuk lebih terdengar kece, kalau tak hendak dituding kebarat-baratan.
Mengapa dikatakan Phobia? Sederhananya, hal itu berangkat dari adanya "Wabah Hijrah" yang muatannya terindikasi "syariatisasi" segala aspek dan lini kehidupan. Seakan segala sesuatunya harus dilabeli kata "syariah". Mulai dari bank syariah, rumah makan, jilbab, hukum, pakaian, serta syor'a-syar'i lainnya.
Seakan semua bisa dibungkus kata Syar'i. Bahkan, pernah dalam suatu forum yang penulis ikuti disodorkan pada statemen yang masygul dicerna, "Afwan akhi, tapi izinnya harus syar'i.." demikian statemen yang dimaksudkan. Sekali lagi, "izin syar'i...!!1!1!" wqwqwq.
Barangkali hal serupa, atau bahkan yang lebih masygul lagi, maka upaya normalisasi dilakukan. Hal itu berupa Counter Wacana untuk menanggapi fenomena syariatisasi tersebut, gencar dilakukan. Mulai dari para da'i turun gunung ke lembah sosmed, hingga para meme maker dan beranda akun sh*tpost pun berseliweran.
Dengan misi, mereduksi pola gerakan yang seakan menjual murah unsur agama tersebut. Polarisasi masif pun menuai hasil signifikan. Bahkan karena pola ini begitu membekas, maka jadilah "Phobia Syar'i" sebagaimana diatas. Barangkali demikian sekilas asumsi subjektif terkait pelik ini.
Asumsi tersebut, erat kaitannya dengan teori Psychoanalysis nya Sigmund Freud (1856-1939). Nama ini, pertamakali penulis dengar dari salah seorang sahabat senior pergerakan saat kami mendiskusikan ID, Ego, dan Super Ego. Ketiga komponen tersebut ada dalam diri manusia dan memengaruhi pola lelaku manusia.
Belakangan nama Freud tersebut sesumbar terdengar kembali, pada pertemuan mata kuliah yang penulis ikuti. Kali ini membahas tentang tiga jenis kecemasan yang bisa berujung fatal, termasuk Phobia. Ketiganya ialah Reality Anxiety, Neurotic Anxiety, dan Morality Anxiety. Ketiganya, erat bertalian dengan ID, Ego, dan Superego tadi.
Pendeknya, pemberitaan yang terus berulang berupa postingan; baik itu pemberitahuan berbalut penghakiman, kultum (red. peringatan) berbalut guyon, guyon berbalut low-bully (red. sarkas), dan sebangsanya. Ini yang akan melahirkan Reality Anxiety atau kecemasan akan realitas yang tersuntik ke alam bawah sadar khalayak, Seakan syariah adalah musuh bersama.
Hal inipun sejalan dengan teori Stimulus-Response (Behavioristic : Skinner) tentang bagaimana terbangunnya pola pikir melalui stimulan yang diberikan berkala; dalam hal ini, berupa ketakutan akan kata syariah yang lambat laun mengalami peyorasi.
Barangkali demikian, tentang muasal Phobia Syar'i yang dilontarkan Kyai Marsudi tadi. Hal ini bila terjadi pembiaran, tentu akan mengejawantahkan pemikiran, yang cenderung menjauh, dari yang memang pada dasarnya diperjuangkan. Patut pula digarisbawahi kelanjutan statemen Pak Kyai tadi, yaitu "kemaslahatan".
Jadi sederhananya, kemaslahatan itu adalah bagian dari syar'i dan tidak akan bernilai syar'i sesuatu yang menimbulkan hilangnya kemaslahatan. Cuma pada wilayah praksisnya, ada yang cenderung mengejar merk (syar'i) ketimbang kemaslahatan itu sendiri. How paradoxical those are..!!1!
Adapun lanjutan statemen Kyai Marsudi: "Maka mencari syariah, gak usah susah-susah". Statemen ini sendiri boleh kita maknai "daripada sekadar mengejar bungkus, mending nikmati isinya. Gitu aja kok repot". Untuk diingat bahwa, pemungkiran akan fenomena latah syariat ini sendiri adalah buah dari kelatahan pula.
KH. Abdurrahman Wahid sang guru bangsa dalam esainya yang dimuat surat kabar Tempo.co pada 16 Juli 1983 silam, beliau menyatakan pandangan yang super canggih nan visioner sekaitan hal ini. Bahkan dengan gamblang beliau uraikan dalam "Salahkah Jika Dipribumikan?" judul esainya tersebut.
Adapun konklusi yang penulis dapatkan dari esai tersebut ialah, sebagai masyarakat muslim nusantara, kita dengan pola yang tersistematis mengalami penjajahan karakter. Penjajahan yang dimaksudkan, ialah pikiran yang ditengarai syariatisasi.
Mulai dari arsitektur, ikat kepala (udeng), peminggiran kosakata asli nusantara, budaya, dan lain setamsilnya. Kesemuanya mengarah pada pemangkasan akar-akar budaya, yang pada dasarnya telah berpilin dengan islam (red. syariah).
Syariat islam, salahkah bila dipribumisasikan? ringkasnya. Patut direnungi bahwa, bukankah bila kita tercerabut dan menegasikan akar budaya tersebut, maka persemaian yang bagaimana lagi yang kita harapkan?
Peliknya perkara sendiri, tampaknya kian berkelindan bila upaya counter dari penjajahan tersebut, menggunakan cara ekstrimitas malah melahirkan garis demarkasi baru. Seakan yang mengucapkan dan menggunakan kata syariah, mutlak dikatai sebagai anti-nusantara. padahal tidak, meski memang ada kemungkinan iya.
Lagi-lagi, ini tentang Moderasi dalam berpikir. Bukankah yang lebih diutamakan adalah kemaslahatan ketimbang perdebatan urat leher tentang kata syariat ini sendiri. sudah jelas bahwa, hal yang lebih diutamakan ialah sadaran bukan sarana.
Lalu apa poinnya dengan FPI? bukankah bahasan ini belum terang atau belum jelas kelaminnya? benarkah demikian?
Mari kita dudukkan semula selayaknya awal tulisan ini sendiri. Front Pembela Islam (FPI) adalah sebuah organisasi masyarakat yang saat ini tengah rusuh sendiri terkait surat keterangan terdaftar ( SKT ) yang dibutuhkan sebagai legalitas organisasi. Namun, harus melewati beberapa prosedur untuk mendapatkan surat tersebut, Sebagaimana dimuat Republika.co.id pada 02 Agustus lalu, setidaknya FPI harus memenuhi 5 persyaratan lagi. Aral baru pun melintang.
Adanya aral ini bukan sesuatu yang tetiba adanya. Salahsatu yang paling menohok adalah garis juang FPI sendiri. Diduga, FPI berupaya melakukan Syariatisasi. Hal inipun sekelabatan dengan tidak tercantumnya Pancasila dan malah menyertakan Khilafah pada AD/ART nya.
Lalu, apa kabar dengan praktik lapangannya?. Barangkali pada wilayah ini, kita bisa lihat seksama betapa kita patut bangga akan ghiroh dakwah FPI ini. Namun pada skop wilayah yang lebih jauh, kita harus berterus terang bahwa jika dakwah atas nama syariat namun memperkosa tatanan sosial (kemaslahatan), maka impotenlah dakwah tersebut.
Tak bermaksud ungkit luka lama, tapi Insiden Monas 2008 masih membekas. Adalah para pentolan FPI sebagai dalang kekerasan simbol dan intoleransi tersebut. Menarik untuk ditilik bersama sebuah esai yang dimuat oleh Kompas.com pada 4 januari 2019 lalu. Pada esai ini tercantum nama pena ABK dengan judul Api dalam Sekam, Intoleransi Simbolik.
Pada paragraf keempat dan kelima, nama Halili (Direktur Riset Setara Institut) beserta pandangan-pandangannya disertakan. Disitu tertulis penyebab tingginya intoleransi simbolik berwujud dakwah atas nama syariat ; lemahnya penegakan hukum dan posisi pemerintah yang kurang peduli pada korban intoleransi, wabilkhusus minoritas.
Lebih lanjut, Halili mengatakan: "(Impunitas semper ad deteriora invitat) sebuah pembiaran atas terjadinya peristiwa biasa, itu pasti mengundang kejahatan lain yang lebih besar. Banyak kasus atas pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang diabaikan dan tidak ditindak. Pemerintah lebih berpihak pada yang mayoritas sehingga tidak ada pemulihan atas hak-hak minoritas.
Ini akan memicu peristiwa lain dan kejahatan yang lebih serius lagi". tutupnya. Sampai disini, rasa-rasanya klimaks mulai tampak. Bahwa barangkali ini adalah upaya cutting down api dalam sekam tadi, ataukah kecurigaan lain yang dinilai politis sebagaimana yang ditudingkan dalam acara tersebut? entahlah.
Terlepas dari hal tersebut, memanglah upaya moderatisasi fardlu 'ain diupayakan. Mengingat api dalam sekam ini memang nyata adanya. Belum beranjak dari beranda ingatan, sekaitan fenomena pada awal tahun 2019 lalu adanya aksi pemotongan salib nisan umat Kristiani di Kota Yogyakarta. Pun dengan yang terjadi di Kota Magelang beberapa pekan setelahnya.
Keduanya serupa namun tak sama. Pasalnya, pengrusakan pada kejadian kedua tersebut lebih banyak (21 makam) dan terjadi pada kuburan umat Kristiani dan Muslim sendiri. Betapa konservatisme dan kejahatan simbol yang meluluhlantakkan kemaslahatan seakan dibiarkan
Yang terbaru (30.07.2019) ialah, aksi penutupan rumah makan yang menyediakan menu fork (daging babi) terjadi pada salahsatu Mall yang berlokasi di Makassar. Menurut info yang beredar, aksi ini berangkat dari kerisauan para warga yang kemudian melakukan aksi atas nama 'aksi jaga moral'. Bukankah dalam hal ini justru moral tersebut malah mengalami banting harga?.
Menjaga moral yang sifatnya lokal, kemudian menelanjangi moral yang bersifat global, itu barangkali bisa dikata ambigu bila tak hendak katakan sebagai amoral. Sesuatu yang bahkan lebih merisaukan daripada alasan para pelaku.
Lalu bagaimana dengan solusi? Menurut Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu Prof. Dr. Azyumadi Azra, ialah "penindakan tegas teruntuk para pelaku intoleransi berlandaskan konstitusi dan pendekatan Kultural yang juga harus melibatkan para tokoh masyarakat, agama, budaya, dan lainnya".
Moderasi dalam berkeyakinan pun patut dipupuk bersama kearifan lokal sebagai akar budaya yang memang menjadi pengikat ke-Bhinneka-an kita. Gus Dur pun bilang, "Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya Arab. Bukan untuk aku jadi ana, sampeyan jadi antum, sedulur jadi akhi. Kita pertahankan milik kita, kita harus filtrasi budayanya, tapi bukan ajarannya".
Credit By ; Sahabat Idris
Komentar
Posting Komentar