Mengenal Dua Proses Pencarian Ilmu Dalam Peradaban Nusantara
![]() |
Ditulis oleh ;
Hari Irawan ( PMII Kom.IAIN Palopo )
|
setiap manusia mempunyai jati diri masing-masing berdasarkan pada kecenderungan individunya ataupun kelompok yang biasa kita kenal dengan kesukuan dan ras. Sesekali dari setiap diri manusia merasa ini - itu bukan dirinya yang sesungguhnya dan perlahan mulai mencari jati diri yang hilang katanya. Ada sebuah kalimat yang sering digunakan oleh sebagian orang yang mengatakan bahwa masakan sendiri atau masakan ibu lebih enak daripada masakan orang lain. Untuk itu, mari kita uji pernyataan ini.
Dalam setiap diri manusia, Ada ikatan batiniyyah yang tidak bisa dipisahkan antara manuisa dengan alam atau biasa kita sebut sebagai (ekologi), manusia dengan manusia dan manusia dengan tuhan (spiritual). Bukti sejarah mengatakan bahwa Peradaban manusia tergantung bagaimana budaya dan tradisi lokal yang mengakar kuat pada tatanan sosial di masing-masing daerah, Ini adalah faktor penting yang mempengaruhi manusia terhadap spiritualitasnya.
spiritualisme sendiri mempunyai makna bahwa ada hubungan antara manusia dengan sang pencipta dalam hal ini mempercayai adanya roh atau jiwa yang kuat diluar dari diri manusia. Jika ditelisik dari sejarah peradaban nusantara, memang Ada bagian yang hilang antara hubungan horisontal manusia dengan alam, manusia dengan manuisa, dan juga hubungan vertikal antara manusia dengan tuhannya. Tentu pergeseran ini bukan tanpa dasar.
Jauh sebelum masuknya agama - agama formal di nusantara (kini indonesia). Masyarakat nusantara sudah mengenal kepercayaan kuno yang berkambang secara peradaban melalui tradisi dan budaya lokalnya. Dan sudah mengenal ketiga hubungan diatas melalui jalan kebudayaan dan spiritual. Hal ini terbukti dengan adanya kepercayaan kuno seperti "sanghyang taya" dalam ( agama kapitayan ) .
Sedikit tentang agama kapitayan sebagai ajaran yang melakukan sembahan utama pada sanghyang taya adalah kepercayaan jawa kuno yang dimaknakan atau diartikan sebagai sesuatu yang hampa atau kosong. Definisi dari sangh-yang-taya oleh masyarakat jawa kuno/sunda wiwitan diistilahkan dengan arti "tan kena kinaya ngapa" alias tidak bisa diapa-apakan keberadaannya. Maka, untuk itu mereka menyembah dengan mempercayainya dalam bentuk sifat "tu" atau "to" yang maknanya adalah "gaib" (adikodrati).
Kemudian seiring berjalannya zaman. Nusantara mulai mengenal yang namanya agama ; hindu, budha, islam, protestan, hingga katolik, dan yang terakhir konghucu. Agama-agama ini tentu mempunyai misi dan tujuan yang tidak jauh beda yakni kemanusiaan dalam bingkai kasih dan sayang (bukan berarti semua agama sama). Ini dengan sendirinya menegaskan bahwa agama sebagai sistem kepercayaan mempunyai peranan penting dalam membangun peradaban para penganutnya.
Disini saya akan mencoba mengurai sedikit atau menggali kembali bagaimana epistemologi asli nusantara sebagai sistem pengetahuan dan jalan spiritual untuk menumbuhkan kembali spirit ke-beradaban masyarakat dengan hubungan secara horizontal dan vertikal yang telah di sebutkan diatas. Tidak mungkin mengembangkan keilmuan dengan meninggalkan agama. Karena itu epistemologi atau pengetahuan nusantara mengakui adanya roh dan tuhan. Sehingga ilmu pengetahuan dibagun untuk melihat kebesaran tuhan dan diabdikan kepada tuhan untuk manusia dan kemanusiann. Lagi-lagi ini penting saya utarakan dan saya jabarkan sehingga kita bisa menjadi akrab dangan sejarah ke nusantaraan yang mulai ditinggalkan oleh sebagian masyarakatnya.
Nusantara dikenal dengan masyarakat yang beragama. Dalam hal ini diyakini mempercayai atau mengakui adanya roh (kekuatan diluar diri manusia) atau tuhan itu sendiri yang dalam masyarakat dianggap sebagai kepercayaan tunggal yang secara dogamtis mempunyai kebenaran mutlak. dalam perkembangan keilmuan Nusantara dikenal adanya dua (2) proses pencarian ilmu yang saling menunjang. Yaitu lelaku "rihlah" dan lelaku "uzlah".
Rihlah (lelono broto _ bahasa jawa kuno) adalah perjalanan fisik dari suatu tempat ketempat lain yang merupakan proses mengenal dunia nyata keadaan alam, masyarakat, serta melatih fisik dan kepekaan inderawi sekaligus mengasah kemampuan nalar. dengan kondisi yang sudah bening secara fisik, nalar, serta inderawi kemudian melebur dengan alam. Baik alam manusia maupun alam kebendaan. Dalam rihlah itulah jagad kecil (manusia/microkosmos) melebur dengan alam. Sehingga terjadi proses meng-alami dalam artian menjadi alam.
Uzlah (topo broto_bahasa jawa kuno). Uzlah ini artinya menyepi atau merenung, menghayati jagad alam raya. Dengan demikian dapat melihat secara jelas arti pengalaman dunia sehingga bisa menemukan pengetahuan yang sejati. Dan juga mengetahui asal-usul semua persoalan. Dengan perenungan dan penghayatan itu, disini jagad kecil menelan jagad gede. Alam dimasukkan kedalam kesadaran manusia, Sehingga menjadi bagian dari manusia.
Kedua proses itu; rihlah dan uzlah mempunyai ikatan yang saling menunjang. Juga bukan hanya perjalan fisik, melainkan perjalanan ilmiah dan sekaligus perjalanan rohani untuk mencapai derajat makrifat. Nusantara memang pernah maju pada zamannya, sehingga mampu berdiri dan menjadi contoh bagi bangsa lain. Namun warisan itu kini hanya tinggal bekasnya.
Kenapa demikian?. Semua itu juga bukan tanpa alasan. Ketika imperialisme barat mulai masuk dan menjajah nusantara, mereka bukan hanya menjajah dalam bentuk fisik, melainkan juga dalam bentuk ideologi dan budaya (Imperialisme budaya). Mereka secara masif menanamkan ideologi modernisasi sebagai jalan kemajuan sebuah bangsa dan negara. Mereka berupaya meggusur habis tradisi dan keilmuan nusantara. Sehingga masyarakat hanya mengenal teori tunggal modernisasi yang hanya mengakui keberadaan dunia materi. Mereka menolak adanya roh atau metafisik.
Tidak hanya itu, pada saat rezim orde baru (orba). Teori modernisasi semakin menguat dan menggerus habis-habisan semua yang sifatnya tradisional, bisa di lihat dalam program rencana pembangunan lima tahun yang dicanangkan olehnpemerintah pada masa orde baru. kemudian memasukkan produk barat dan mengubur dalam-dalam produk lokal. Memang agak Miris,,,
Jadi, apa yang dapat kita ambil dari perjalan kebudayaan sampai pergeseran ideologi nusantara. Tentu sebagi masyarakat yang berkeadaban kita tidak boleh meninggalkan budaya dan tradisi sebagai warisan leluhur. Upaya untuk melestarikan dan menjaga warisan itu tentunya dengan mengambil spirit pendahulu dan membudayakannya kembali sebagai falasah pengetahuan dan spiritual. kedua, bahwa tolak ukur kemajuan bangsa dan negara bukan hanya melalui jalan modernisasi tapi juga melalui jalan tradisi budaya, keduanya harus bisa berjalan seiringan. Ada sebuah kaidah yang menyatakan "mempertahankan budaya lama yang baik (luhur), dan mengambil budaya baru yang lebih baik" inilah yang saya kutip diawal pembahasan, bahwa masakan ibu sendiri lebih enak daripada masakan orang lain.
wallahu a'lam bishowab,,,
Reference Adfice ; Abdul Mun'im, "Fragmen Sejarah Nu"
Komentar
Posting Komentar