Betulkah Relaksasi Jadi Solusi

Penulis : Muh.Rafly Setiawan

Sumber Gambar : https://www.google.com

Pembahasan dalam kebijakan relaksasi adalah upaya berkelanjutan dari pemerintah dalam menghambat laju perkembangan wabah Covid-19. Ini disoroti oleh Najwa Shihab dalam salah satu stasiun televisi. Menghadirkan berbagai narasumber, mulai dari tim Pakar gugus covid-19, ahli epidemologi, ekonom, orang tua siswa, pekerja industri kreatif, para pemerintah daerah, siswa pelajar, dan pekerja UMKM.

Dari hasil wawancaranya, saya melihat ada narasi yang unik dari kolaborasi dua narasumber, yakni Faisal Basri (ekonom) dan Pandu Riono (pakar epidemologi). Bahwa kemudian dari pernyataan pakar epidemologi yang menyatakan, seharusnya penanganan tentang kebijakan pemerintah terkait wabah Covid-19 diberikan sama ahlinya. Hampir serupa, Faisal Basri menyatakan bahwa kalau Menteri Jokowi tidak kompeten, seharusnya jangan ikut berkomentar soal Covid-19, karena konsekuensinya terlalu besar jika kebijakan relaksasi ini diberlakukan.

Kendati demikian, saya mengamati bahwa memang ada betulnya disatu sisi tentang kebijakan relaksasi ini karena masih dalam kerangka PSBB yang tujuannya menghambat penularan wabah Covid-19. Akan tetapi, disisi yang bersembarangan, bahwa kebijakan ini dapat menambahkan jumlah korban dari pandemi tersebut. Apabila kurangnya penataan serta pengontrolan yang ketat, malah jadi buah simalakama.

Pelonggaran PSBB, kian menunjukkan adanya upaya intervensi subjektif dari pemerintah yang lebih memprioritaskan ekonomi ketimbang faktor kesehatan. Meskipun, sasarannya adalah meminimalisasi para pekerja yang berpotensi di-PHK dan mengizinkan warga yang berusia kurang dari 45 tahun bisa beraktivitas di luar rumah. Karena menurutnya, usia tersebut tingkat imunitasnya begitu tinggi. Tapi, mengapa testing belum juga sesuai dengan target 10 Ribu orang dari Tim Gugus Covid-19? Justru testing itu tidak sesuai dengan targetnya, maka jangan heran kalau kurvanya (statistik penyebaran Covid-19) tidak karuan.

Bagaimana tidak krusial kebijakan itu, lantaran Sekolah dapat beroperasi langsung. Artinya, siswa dan guru dapat melakukan kontak fisik di Sekolah. Itu menandakan bahwa alih-alih menyetop akselerasi Covid-19, akan tetapi secara implisit, malah berdampak bertambahnya korban dari wabah tersebut.

Kalau pernyataannya mengabsahkan dalih bahwa usia muda tidak masuk dalam kategori rentan wabah ini, bukan berarti tidak terpapar Covod-19. Misalnya, ketika diizinkan untuk bersekolah kembali, lantas pulang ke rumah, boleh jadi memaparkan kepada orang tuanya wabah tersebut. Ini perlu kehati-hatian dalam menetapkan satu kebijakan, yang tetap pada visi melawan wabah Covid-19 yang tak kasat mata.

Saya cukup apresiasi beberapa tanggapan dari siswa, bahwa masih ragu untuk mengikuti kebijak tersebut. Karena pertimbangannya jauh lebih besar, dari maklumat pemerintah sebelumnya, yakni protokoler dan pola hidup sehat serta PSBB. Apa sih kejujuran pemerintah? Apakah justru mengutamakan ekonomi atau kesehatan? Jawaban tersebut masih simpang-siur dan ketidaktahuan beberapa stake holder yang ditugaskan dalam penanganan wabah tersebut.

Saya beranggapan bahwa kebijakan relaksasi akan mendatangkan sesuatu yang belum pernah diperkirakan sebelumnya. Seperti, bertambahnya jumlah korban, tidak ada kepastian yang diberikan pemerintah, pemerintah hanya sekedar mementingkan implikasi politis ketimbang sarat akan kemanusiaan. Pembaca boleh sendiri turut berkomentar, karena saya sendiri tidak mengindahkan aturan tersebut. Jelas dapat merugikan masyarakat, dan boleh jadi kerugian negara bertambah besar.

Ah sudahlah, yang pasti kita harus waspada terhadap segala siasat yang menyiratkan beragam kepentingan ganda. Sudah sepatutnya masyarakat bersikap kritis, mencermati segala ketidakjelasan kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah. Untuk itu, one man, one voice and one value, amat penting membuka lanskap dari sudut pandang yang berlainan, agar paradigma pemikiran tetap utuh, dan sejalan dengan kemaslahatan bersama.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Akhir Tahun ( Tidak hanya mengetahui, Indonesia harus dimengerti )

Desa Sebagai Lapisan Pemerintahan Paling Dekat Dengan Rakyat

Moderasi Berpikir dan Fenomena 'Syariatisasi'