Gerakan PMII Dan Matinya Kepakaran


Ditulis oleh ; 
Muh.Rafly Setiawan
(Biro kaderisasi PMII Palopo)

Sumber : https://kalimahsawa.id

Saat ini gerakan PMII semakin sektarianisme, seakan tercerabut dari akarnya sewaktu pertama kali didirikan pada tanggal 17 April 1960. Sejatinya PMII tidak lahir dari ruang hampa, akan tetapi menjawab setiap problem yang ditemui dalam periodisasi zaman. Apalagi sekarang ini, PMII bukan lagi organisasi yang seumuran jagung, melainkan sudah menginjaki usia 60 tahun pasca terbentuknya.

Misalnya di awal perjalanannya, para pendiri PMII dan juga kader-kadernya bergelut untuk memberantas segala kekeliruan yang terjadi, baik itu regulasi yang tidak memihak terhadap ihwal hidup masyarakat, dan juga melakukan proses edukatif di tengah masyarakat demi mengikis stigma bahwa masyarakat Indonesia secara signifikan tuna aksara. Ini baru langkah kecil yang direalisasikannya. Apalagi soal kebudayaan dan dinamisasi pemahaman Ahlussunnah Wal Jamaah.

Kader PMII saat itu, menguatkan pemahaman masyarakat bahwa kebudayaan itu bagian dari Islam, asalkan tidak bertentangan dalam syariat islam. Ini masih bisa kita temukan disekeliling bahwa pentingnya warisan leluhur yang baik dilestarikan dan mengambil budaya baru yang bisa disisipkan nilai ke-aswaja-an di dalamnya.

Dalam aspek perjuangan, kita menemukan nama Mahbub Djunaidi yang multi-peran pada kemaslahatan masyarakat. Beliau yang saat itu sebagai konsolidator dan jadi rekan sejawat dari Bung Karno. Belum lagi perannya dalam ranah jurnalistik. Beliau wartawan yang punya tipikal unik, karena bahasa penulisannya sangat kritis, bernada satire sekaligus membuat para pembaca keranjingan tertawa kala dimuat di media Nasional, seperti majalah Tempo dan Kompas.

Meskipun saat itu Soeharto dengan tinju besinya membungkam majalah-majalah yang berpotensi menganggu stabilitas kekuasaannya. Namun daya juang Mahbub Djunaidi bahkan membuat sang Presiden terlama Indonesia terbahak-bahak melihat tulisan Bung Mahbub. Beliau juga diamanahkan sebagai translator dari buku George Orwell yang berjudul “Animal Farm” dan buku Michael H. Hart yang berjudul “The 100 A Ranking Of The Most Influential Persons In History”, dan lain sebagainya.

Peran Mahbub Djunaidi tidak berhenti sampai disitu saja, bahkan dia jadi politikus di rezim Orde Lama (Anggota DPR-GR/MPRS) yang tetap menelaah segala kekeliruan yang terjadi dalam Trias Politicia Indonesia. Kendati demikian, pergantian rezim ke Orde Baru, beliau tetap aktif mengkonsolidasikan semangat demokrasi yang mesti dilahirkan dalam iklim kepemiluan yang saat itu hanya dikuasai oleh tiga partai (GOLKAR, PDIP, dan PPP), namun dapat dipastikan yang jadi pemenangnya adalah GOLKAR.

Nah inilah yang jadi fokus perhatian Mahbub Djunaidi, yang getol mengkampanyekan hak politik harus disalurkan bagi semuanya, bukan hanya satu partai nepotisme yang menguasai Indonesia.

Akan tetapi kalau kita mengamati gerakan PMII dan terjadi erosi dalam tubuh PMII, artinya adalah krisis kepakaran. Dikarenakan hampir yang jadi fokus perhatian kader-kader PMII adalah aspek politik. Mulai dari jajaran pengurus secara vertikal maupun para alumni pada garis horizontal, bahkan anggota PMII yang baru terekrut di dalamnya hanya mempunyai kecenderungan untuk jadi politikus. Sehingga melupakan medan gerakan PMII di wilayah yang lebih sustansial, seperti pendidikan, kesehatan, civil society, keagamaan, kebudayaan dan lain sebagainya.

Mengapa demikian? Karena pola kaderisasi saat ini yang telah dibundel sedemikian rupa, tidak terintegrasi di setiap kepengurusan di daerah. Paradigma Lining Sector tidak mampu diejawantahkan setiap pengurus, lantaran kurang memahami kaderisasi yang orientatif demi kemajuan organisasi. Meskipun pola tersebut sangat ideal kelihatannya, akan tetapi dalam praktekkan hampir lepas secara teoritik landasan tersebut.

Gerakan yang dibangun pun bersifat impulsif dan hanya sekedar bernalarkan programmatik tanpa menyentuh gerak substantif. Ini kadang-kadang terjebak pada arus pragmatisme, sehingga program yang dijalankan lebih berdaya praktis dan tanpa pertimbangan yang punya kemanfaatan bagi seluruh kalangan.

Seharusnya kita sebagai kader PMII bercermin pada Nilai Dasar Pergerakan dan tidak melepaskan spirit perjuangan para pendahulu yang begitu getir bergulat pada multi-sektoral. Selayaknya kita memanfaatkan acuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang punya legitimasi dalam menghadirkan Lembaga Semi Otonom (LSO) agar meningkatkan setiap potensi kader sesuai dengan kecenderungannya. Dan tak pelak lagi, setiap jajaran pengurus juga harus meningkatkan kapabilitasnya supaya dapat mengembangkan gagasan-gagasan briliannya dengan begitu kreatif sehingga dinamika produk pemikiran tetap berjalan sesuai pada kepakaran dan tipologi gerakan PMII.

Kita juga perlu persiapan buat kader-kader PMII yang punya daya tarik melanjutkan studynya minimal sampai Magister, dan ini yang patut pula difasilitasi. Seyogianya kita punya bekal atau donasi tetapi agar mendistribusikan kader PMII di setiap sektor demi berbakti terhadap organisasi dan juga masyarakat, agama, bangsa dan negara Indonesia.

Memang banyak hal yang perlu dibenahi, bukan terjebak pada konflik struktural saja, melainkan perhatian PMII harus mengubah pola kaderisasinya yang amat rumit dipahami oleh banyak Cabang di berbagai daerah yang tersebar. Teramat penting disosialisasikan atau mengadakan workshop kaderisasi di setiap daerah guna diakomodasikan sesuai dengan antropologis dan geografis cabang tersebut.

Apalagi sekarang ini, PMII harus mencetak kadernya yang punya keterampilan dalam satu aspek. Punya nilai leadership dan menciptakan kader yang murni lahir dari proses kaderisasi dan kemudian mendiasporakan gerakannya di berbagai segmentasi kehidupan. Ini bisa jadi parameter utama bagi pola yang sedang dilakukan, sehingga tidak saling menyalahkan dikemudian hari antar sesama alumni maupun pengurus di berbagai tingkatan struktural. Kader PMII patut mendayagunakan kapabilitas yang dimilikinya. Perlu mengaktualisasikan dalam era digital saat ini.

Digitalisasi organisasi penting digenjot, karena dapat meningkatkan soft skill kader-kadernya agar melahirkan konten-konten yang atraktif dan isinya disisipkan unsur substantif untuk kemudian tereksplorasi bagi masyarakat digital. Selain hard skill juga, penyeimbangnya adalah nilai Ahlussunnah Wal Jamaah dan nilai nasionalis sehingga kader PMII dapat tersematkan identitas pemahaman Nasionalis-Religius-Kosmopolit.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Akhir Tahun ( Tidak hanya mengetahui, Indonesia harus dimengerti )

Desa Sebagai Lapisan Pemerintahan Paling Dekat Dengan Rakyat

Moderasi Berpikir dan Fenomena 'Syariatisasi'