Menggugat Aku Yang Katanya Terpelajar

Penulis : War'S


sumber gambar ; harianhaluan.com

"Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berfikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, biarpun dia sarjana" Pramudya Ananta Toer.

Status sosial menjadi tidak begitu penting saat diperhadapkan dengan realitas, tak mesti menjadi pemuka agama untuk berlaku agamis, tak harus menjadi konglomerat agar bisa berbagi, dan tidak pula mesti sebagai pemerintah untuk berlaku bijak. Kita semua adalah harapan datangnya kebajikan, tak meluluh mengharapkan datangnya dari pemimpin, konglomerat, pun tokoh agama. 

Sehari-hari kita akan bersama seoarang manusia yang asalnya dari segumpalan sperma, seonggak daging kemudian di rawat oleh sosok yang sama, seorang ibu yang begitu muliah.  Atas karunia tuhan yang maha esa menghadirkan cinta diantara dengannya seorang laki-laki yang gagah berani. Maka lahirlah kita sebagai mahkluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.

Lantas apa yang mesti membuat kita sebuas-buasnya seekor pemangsa, melupakan hakikat keberadaan kita sebagai seorang yang telah di karuniakan buah pikiran paling istimewah diantara ciptaan tuhan lainnya pada fungsi otak ; akal-budi diposisi yang sama. Tentu akan menjadi olok-olokan apabila ada diantara kita yang posisinya berada didengkul Namun,  tak menertawakan diri jika suatu saat kita meletakkannya di bawah tumit kaki.

Huff, sepertinya menjadi rumit sama seperti pembaca menafsirkannya. Tapi jangan beranjak pergi dulu frend, tadi itu hanya ocehan belaka saja, tidak penting menguras pikiran untuk itu. Kecuali, memikirkan hakikat keberadaan kita tentu itu menjadi penting dan pantas jika ingin menguras pikiran dan tenaga, agar tidak menjadi sia-sia keberadaan kita, halaaaa,,,

Jadi begini, selama masa bulan suci ramadhan. saya telah berada di kampung halaman sejak awal memasuki bulan suci ramdhan dua minggu yang lalu, itu menjadi kewajiban berkumpul bersama-sama dengan keluarga saat berpuasa tiba. Akan menjadi beban pikiran secara pribadi apabila tak mengindahkan permintaan keluarga. Setelah bersua dengan warga, saya dilabeli sebagai seorang terpelajar yang sedang memburu gelar sarjana, begitu kira-kira realitasnya setelah warga membalas sapaan dari saya dengan balasan sapaannya yang berbeda-beda namun tetap satu makna ; mahasiswa, terpelajar dan pemburu gelar sarjana (telah kusimpulkan seperti itu).

Ternyata ada hal baru yang menjadi beban pribadi selain menolak panggilan keluarga. Mendengarkan sapaan dari masyarakat desa membuat ku merenung seketika, memikirkan hal-hal yang harusnya kuperbuat untuk mereka. Rasa-rasanya kemuliaan mereka sebagai penopang utama keberlangsungan hidup negara dan manusia-manusia-nya (penghasil pangan), membuatku merasa tak sedang melakukan apa-apa untuk membalaskan jerih payah dan kemuliaannya (ucapku dalam hati saat jiwa kenegaraan ku merontah.rontah).

Sebagai seorang yang katanya terpelajar, seketika aku menggugat diriku untuk mereka ; Ayo segera berbuat, jawab semua pertanyaan-pertanyaan dari mereka, ringankan semua hal-hal yang membebani mereka, buatlah mereka merasakan manfaat keberadaan negara yang telah mereka beri kehidupan, mereka cukup lelah membungkukkan badan dan mengeluarkan keringat di atas tanah kelahiran mereka, jangan lagi ada sikap ketidak adilan yang merengguk hak-hak mereka.

Sambil menggugat aku sedikit mengingat-ingat, bukankah negara itu ada untuk menjamin hak-hak masyarakat. Suatu kesempurnaan warganya berdasarkan atas keadilan. Keadilan memerintah harus menjelma di dalam negara dan hukum berfungsi memberi kepada setiap manusia, apa sebenarnya yang berhak mereka terima. Begitu kata aristoteles.

Menurutnya, berdasarkan kodrat manusia harus berhubungan satu sama lain dalam mempertahankan eksistensinya dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Hubungan itu berawal dalam sebuah keluarga, kemudian berkembang menjadi suatu kelompok yang lebih besar lagi. Kelompok-kelompok yang terbentuk dari beberapa keluarga tersebut kemudian tergabung dan membentuk suatu desa dan kerja sama antar desa inilah yang melahirkan negara/kota. Manusia membentuk negara untuk mengamankan subsisten, tetapi objek utama dari negara adalah kehidupan yang baik. Negara yang baik lahir dari pemimpin yang baik.

Kalau dalam negara sosialisme, negara harus turut campur tangan dalam bidang perekonomian untuk mensejahtrakan umat manusia. Menganggap bahwa negara sebagai organisasi yang akan mewujudkan cita-cita sosialistis. Negara dipandang pula sebagai faktor positif dalam menyelenggarakan kesejahtraan masyarakat. Dalam masyarakat atau negara sosialisme, hak milik perseorang diakui tapi dalam batas-batas tertentu.

Lebih dari itu di Indonesia telah di rumuskan dan di sepakati dalam tujuan bersama oleh founding fathers yang termaktub dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 ; Melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia, memajukan kesejahtraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Atas dasar tersebut saya merasa yakin kehidupan rakyat di indonesia akan lebih bahagia. dari negara dibawah pimpinan seperti Hitler atau yang sedang di cengkram Donald Trump.

Nyatanya teks pun tak menjadi begitu penting saat diperhadapkan dengan realitas sosial. Begitu banyak teks-teks yang termuat dalam undang-undang, pasal per pasal  menjadi tak terlihat dalam pandangan para birokrasi negara yang brutal. Pernyataan tersebut tentu tak jatuh dari langit dengan tiba-tiba. Saya telah berjalan dan bertemu dengan sebanyak-banyaknya masyarakat desa saat berada di kampung halaman. Mendengarkan kerisauan mereka mengenai hal-hal yang menyinggung soal fungsi keberadaan negara.

Hak-hak masyarakat seringkali digantungkan pada percaturan politik praktis. Tergantung dari menang tidaknya calon politikus yang dipilih, pendukung atau bukan saat proses pemilihan berlangsung untuk menduduki kursi pemerintahan. Selain itu, hak yang mestinya di berikan kepada masyarakat terhenti di meja birokrasi, lalu di telan habis-habis. Merasa seperti konglomerat yang bebas memberikan sebagian hartanya kepada siapa saja yang dia inginkan. 

Kembali menggugat aku yang katanya terpelajar. Apa yang harus kulakukan, apakah aku akan mematikan harapan masyarakat di kampung halaman ku yang telah memberikan sumbangsi penghidupannya kepada negara. Terlebih, sejak awal mereka telah melabeliku sebagai seorang terpelajar yang akan membawa perubahan bagi keberlangsungan hidup mereka dan anak cucunya kelak. Apakah aku hanya akan duduk diam bersama setumpukan teks-teks yang telah menunjukkan jalan untuk ku berbuat.

Tak banyak dari kaum ku yang betul-betul memperhatikan keberadaan masyarakat desa, kebanyakan dari aku terlena dengan kenyamanan bermain di atas meja birokrat, aku tak begitu peduli dengan apa yang mereka ( masyarakat ) ceritakan kepadaku, aku hanya menjadi pendengar yang pasif. Mereka menceritakan hal ( yang kusebut sebagai fenomena sosial - politik ) kepadaku. Mungkin karena mereka menitipkan harapan, bukan justru aku menjadi bagian dari ancaman bagi mereka saat ini dan suatu saat nanti.

Jika benar-benar tak ada yang aku lakukan untuk harapan mereka, lantas apa bedanya aku dengan negara yang tak memberikan hak kepada mereka, justru mengkebiri nilai keadilan. Aku pun menjadi tidak adil sebagai terpelajar, aku mengkebiri ilmu ku sendiri. Dengan begitu aku merasa seperti orang gila tak tertanggung dosa sosial, kriminal dalam harapan rakyat, sekalipun kelak aku telah memiliki gelar sarjana. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Akhir Tahun ( Tidak hanya mengetahui, Indonesia harus dimengerti )

Desa Sebagai Lapisan Pemerintahan Paling Dekat Dengan Rakyat

Moderasi Berpikir dan Fenomena 'Syariatisasi'