Memandang Kaum Lesbian, Gay, Biseksual, Dan Transgender Dalam Perspektif Kemanusiaan
Ditulis Oleh :
Muh. Rafly Setiawan
"Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya dan menjadi khalifah ( penyeimbang ) di muka bumi"
Fenomena orientasi seksual yang menyimpang ini mulai dibela di dekade 1960-an di Amerika Serikat sebagai bentuk pembebasan hak individual dan kelangsungan hidup bagi yang mempunyai kecenderungan homoseksual. Hingga dibuatkan aturan lewat jalur konstitusional di Amerika Serikat untuk diakui eksistensi kaum LGBT ini dan negara berhak memberikan kebutuhan, perlindungan, dan menjamin kelangsungan hidupnya sebagai warga negara.
Hal ini kemudian menjadi embrio di Indonesia soal keberadaan kaum LGBT ini harus diakui di Negara. Akan tetapi, merujuk pada konstitusi secara hierarkis perundang-undangan bahwa perihal ini tidak disahkan untuk diterapkan dalam negara Indonesia. Karena dipastikan bahwa jika penerapan ini berlaku orientasi seksual bagi setiap generasi kedepan akan mengalami kemunduran seksualitas. Nah ideology liberalisme nantinya ini menjadi pukulan telak bagi asas tunggal negara Indonesia yakni Pancasila.
Menghadapi tantangan ini dalam konteks kekinian, perlu dikaji secara komprehensif melihat bahwa negara harus memandang kaum LGBT ini sebagai perwujudan manusia. Merujuk pada UUD 1945 pasal 27, 28 sampai 29 dan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM (makanya terbentuk KOMNAS HAM) pasca tindak lanjutan dari Deklarasi Hak Asasi Manusia di tahun 1948 dan Konferensi Wina ditahun 1994, bahwa yang masuk dalam asosiasi tersebut berhak menerapkan apa yang menjadi keputusan dan menjadi hukum internasional. Dan kemudian diintegrasikan dalam hukum Nasional yang masuk dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Ini membuat perubahan yang baik bagi seluruh masyarakat Indonesia, termasuk dirasakan oleh kaum LGBT. Menelisik lebih jauh lagi, seharusnya ada upaya rehabilitasi bagi kaum LGBT ini karena kecenderungan ini bisa mendatangkan penyakit yang sangat langka. Bukan cuma stagnan di rehabilitasinya, namun juga dalam pendekatan sosialnya yang perlu diberikan kebuTuhan khusus karena mayoritas masyarakat ketika mengetahui bahwa ia kaum LGBT akan menjauhi dan berusaha mengisolasi mereka.
Tahapan selanjutnya adalah perlunya pengontrolan bagi keluarga dalam pergaulan anak yang kelak tumbuh dan berkembang. Dalam pergaulan tersebut, ada dua kemungkinan yang terjadi yakni jika pergaulannya membawa dampak positif secara otomatis anak itu akan baik bagi kehidupannya. Akan tetapi jika sebaliknya yang terjadi, anak tersebut berkembang dan tumbuh menjadi pribadi yang berperilaku menyimpang diberbagai aspek kehidupan. Makanya yang menentukan pertama kali adalah dikeluarga yang kemudian tetap mengontrol pergaulan si anak.
Dalam kacamata kemanusiaan, melihat diagnosa ini untuk kemudian melakukan proses vaksinasi perlu diupayakan sering melakukan dialog dan mendengarkan kemauan mereka selagi tidak mendobrak nilai-nilai dan empat pilar (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI) kebangsaan. Sepantasnya setiap warga negara ini diberikan fasilitasnya guna menunjang kelangsungan hidupnya dan sembari mereka tetap melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara.
Ini memang ruwet jika berangkat dari hal skeptis, karena stereotipe yang terbangun ini sangat perlu terjadi rekontruksi dan revitalisasi di segmentasi kehidupan. Agar supaya nilai kemanusiaan juga berlaku bagi kaum LGBT ini, tapi mereka harus terbuka dan bersifat inklusif guna menghindarkan dirinya yang saat ini berusaha mengalienasi dirinya sendiri. Sehingga kedepannya sudah ada langkah preventif dan protektif untuk seluruh warga negara, dan mereka pun berusaha mengubah pola pikirnya yang alibi terhadap orientasi seksual yang menyimpang.
Pemikiran progresif dalam nuansa kemanusiaan ini seharusnya lebih dikuatkan lagi di wacana kontemporer, agar realitas yang terjadi dapat dipulihkan kembali. Apalagi sekarang mengalami segregasi dan kurang seksinya lagi membahas kemanusiaan tersebut. Terlebih mendedikasikan diri tercebur dalam nuansa itu tidak akan memenuhi segala ekspektasi yang dimiliki. Inilah menjadi tugas bersama untuk melahirkan gagasan-gagasan transformatif sebagai penunjang dan pondasi yang kuat untuk Indonesia serta generasi pelanjut mampu mengartikulasikan diberbagai aspek kehidupan menyoal nilai-nilai kemanusiaan yang dibalut unsure solutif.
Untuk itu, kaum LGBT harus dipandang sebagai manusia, karena yang dikatakan Guru Bangsa, Almarhum KH. Abdurrahman Wahid (GUSDUR) bahwa membela dan mengangkat martabat mulia manusia adalah bentuk aktualisasi dalam memuliakan peciptanya. Sehingga manusia saling menyadari keterikatan-keterikatan dalam multi dimensional ini untuk menyandarkan pilihan-pilihan hidup bagi manusia itu sendiri dan selagi masih dalam koridor konstitusional yang terdapat di Negara Indonesia.
Komentar
Posting Komentar