Krisis Metodologi Pendidikan Nasional

Penulis ; Muh. Rafly Setiawan 

Hari sabtu, tepatnya tanggal 02 Mei 2020, berseliweran informasi yang memberi pertanda bahwa hari tersebut merupakan hari Pendidikan Nasional. Dan momentum ini sebagai refleksi atas keganjilan penerapan metode pendidikan Indonesia saat ini. Sudah barang tentu, marak tenaga pendidik dan peserta didik turut memberikan opini di berbagai media mainstream Indonesia.

Memang sekarang ini, telah bergonta-ganti pelbagai sistem dan metode tentang style pendidikan ala Indonesia. Mungkin hal itu merupakan upaya untuk menarik kontekstualnya yang kerapkali harus mengikuti arus perubahan. Ini membuat beberapa kalangan kebingungan atas penerapan dan cara mengoperasikan kurikulum pendidikan negeri ini.

Meskipun gaya pendidikan Indonesia sekarang menggunakan kurikulum 2013, dan bukan lagi KTSP. Akan tetapi, masih banyak praktik kurikulum lama yang diterapkan oleh pihak instansi pendidikan. Secara formal, hal ini mengindikasikan bahwa terjadi dis-orientatif dan telah terjadi krisis metodologi pendidikan Nasional.

Bagaimana tidak? Tenaga pendidik seharusnya meningkatkan kognitifitas, penanaman karakter, dan pshyco-motorik buat peserta didiknya, namun anggapan umum tak bisa diejewantahkan bahwa mayoritas tenaga pendidik malah keluar dari kurikulum yang saat ini berlaku di Indonesia. Kalau kita melihat pendidikan formal hari ini, misalnya tingkatan SD, SMP, dan SMA maupun Perguruan Tinggi, masih banyak diketemukan tenaga pendidik berposisikan sebagai subjek semata. Sehingga peserta didik hanya berfokus pada metode penghafalan ataupun searching di server internet untuk menyalin file dalam menyelesaikan pekerjaan rumah dari sekolah ataupun tugas perkuliahan.

Tak usah jauh-jauh, penghambaan seorang peserta didik begitu kontras pada setiap instansi pendidikan. Saya mengemukakan ini menelaah realitas pendidikan yang saat ini begitu krisis metodologi. Hampir tidak relevan dengan apa yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Apakah dengan mengajarkan praktik menghafal tanpa memahami adalah bentuk dari mencerdaskan kehidupan bangsa? Sekiranya hal tersebut tidak kontekstual dengan atmosfer pendidikan Nasional hari ini.

Menteri Pendidikan Indonesia (periode 2019-20240) seringkali memberi pernyataan bahwa, “kita memasuki era dimana gelar tidak menjamin kompetensi. Kita memasuki era dimana kelulusan tidak menjamin kesiapan berkarya. Kita memasuki dimana akreditas tidak menjamin mutu. Ini hal-hal yang harus disadari”, kalau saya menafsirkan lebih jauh bahwa ada betulnya pernyataan beliau. Akan tetapi, hal yang harus diperhatikan adalah tentang instansi pendidikannya yang hanya menekan calon wisudawan dengan watak konsumerisme dan hanya sekedar orientasi kerja semata.

Bagaimana tidak terjadi krisis metodologi, dan karya-karya yang bermutu kalau hanya skala prioritasnya adalah akreditasi. Dan dengan mengadakan ceremonial wisuda minimal dua gelombang setahun. Namun tidak mampu menjangkau apakah para sarjanawan tersebut, punya kompetensi dan kapabilitas yang dapat diperuntukkan untuk kemajuan Indonesia?

Sampai saat ini, hampir menyeluruh instansi pendidikan formal berlomba-lomba untuk mengangkat akreditasi Sekolah atau Perguruan Tinggi. Bahkan demi mencapai target, banyak penyelewangan yang dilakukan. Beberapa saya temukan, sarjanawan tersebut dipaksa buat menyelesaikan studinya meskipun tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku. Mungkin juga di Perguruan Tinggi pembaca sekalian, menemukan hal tersebut? Kalau kita hanya tinggal diam, lantas atmosfer pendidikan untuk mengikuti perkembangan zaman mau dikemanakan?

Apabila instansi pendidikan menggunakan metodologi seperti itu, hanya akan menciptakan para sarjanawan sebagai ajang menajamkan pengangguran di seantero Indonesia. Penting bagi kita untuk menegaskan sistem pendidikan hari ini harus tetap sejalan dengan aturan yang berlaku dan praktiknya di lapangan. Sehingga dapat mempersiapkan peserta didiknya untuk dicerdaskan bagi kehidupan bangsa dan negara.

Apalagi fenomena pandemic effect, membuat aktivitas pendidikan berubah haluan seratus persen ke perkuliahan daring. Ini pentingnya kontrol tenaga pendidik untuk menarik relevansinya agar penerapannya sesuai dengan yang diharapkan secara bersama-sama. Bukan malah memberi tugas dengan hanya menyalin di sirkuit internet untuk mendapatkan “nilai” bagi peserta didiknya.

Saya menambahkan bahwa, keluarga berperan besar dalam masa-masa sekarang. Dan ini juga akan memudahkan anaknya semakin nyaman mendapatkan proses pendidikan yang sarat akan penanaman karakter. Jadi tugas bersama, baik pendidikan formal maupun pendidikan informal untuk menyiapkan para generasinya menghadapi tantangan zaman yang makin deras arusnya.

Amat penting disyukuri, kemudahan akses pendidikan memang punya manfaat. Akan tetapi, kalau kita tidak memberikan metodologi yang kontekstual, maka sama halnya kita kembali ke zaman kolonialisme. Semoga pendidikan Indonesia dapat mencetak kalangan intelektual untuk mendayagunakan segala potensinya sebagai upaya memajukan kehidupan berpendidikan, bermasyarakat, beragama, berbangsa dan bernegara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Akhir Tahun ( Tidak hanya mengetahui, Indonesia harus dimengerti )

Desa Sebagai Lapisan Pemerintahan Paling Dekat Dengan Rakyat

Moderasi Berpikir dan Fenomena 'Syariatisasi'