Kemiskinan Yang Harus Ditangani Secara Berkelanjutan
Penulis :Muh. Rafly Setiawan
![]() |
Pembaca sekalian, makhluk apakah yang diberikan nama kemiskinan itu? Apakah dia semacam binatang karnivora ataukah dia seperti tumbuhan yang bersodara dengan benalu? Kenapa mesti orang-orang yang mendapatkan penghasilan selama sebulan hanya Rp.100.000 dikatakan sebagai makhluk rendahan yakni predikat orang yang miskin? Bagaimana pula cara mengatasi binatang bengis ini yang membuat dunia menjadi sengsara dan rela saling membunuh satu sama lain? Sungguh dosa besar yang telah dilakukan oleh kemiskinan ini, makhluk ini nantinya di akhirat akan masuk neraka jahanam.
Setiap babakan sejarah di berbagai era yang telah dilukiskan oleh para periwayat, pasti yang dituntut dan urgensi menyoal tentang kemiskinan. Meskipun hidup akur dan beberapa kelompok di komunitas ber_uang, pasti ada saja satu atau dua orang yang menjadi turis. Artinya bahwa ada yang paling rendah penghasilannya, hingga mencapai di bawah garis kemiskinan.
Siapakah yang harus menanggung dosa makhluk ini? Apakah Negara adidaya? Negara Maju? Negara Berkembang? Dan atau Negara Miskin? Oh, yang pastinya adalah pemerintahan yang sah dan terpilih, baik secara demokratis, teokratis, kleptokrasi, ataupun dengan cara merebut kekuasaan lewat kudeta.
Kenapa pula mesti dibedakan antara yang mempunyai kekayaan harus diistimewakan dan yang mengalami kemiskinan justru dilabeli sampah masyarakat ataupun beban negara? Sehingga memunculkan stereotype, bahwa orang yang mendapatkan predikat ini tidak harus diajak bergaul dan berteman. Karena bisa mempengaruhi orang kaya untuk menjadi miskin dan membuatnya harus meningkatkan rasa iba kepada orang miskin tersebut.
Contoh misalnya di Indonesia, mayoritas penduduknya berpendapatan di bawah garis kemiskinan. Dan merujuk data statistik dalam standar kelayakan hidup sehari-hari jauh dari harapan. Sehingga populasi mengalami degradasi soal hidup yang didambakannya dan mestinya bisa memberikan kebutuhannya baik dirinya sendiri, keluarga, agama, bangsa dan negara.
Sungguh miris nasibnya negara ini, sangat menggaungkan soal pembangunan yang efektif dan unggul dari berbagai aspek. Akan tetapi berbanding terbalik dengan realitas masyarakatnya yang jauh dari kelayakan hidup. Mungkin pemerintahannya belum mampu memberikan apa yang pantas buat mereka untuk menutupi segala kekurangannya dan menghilangkan binatang yang namanya kemiskinan itu.
Ditinjau dari UUD 1945 pasal 34 yang berbunyi “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara” ayat 1, dan ayat 2 berbunyi “Negara mengembangkan system jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.
Apakah ini sudah terealisasikan dan sudah dilaksanakan oleh seluruh perangkat kenegaraan? yang pasti belum, karena masih banyak terjangkiti virus kemiskinan, bahkan negara tak jarang menutup mata dan tidak hadir mengulurkan tangannya. Suatu ironi yang tidak patut dicontoh pembaca yang berperikemanusiaan.
Sejauh kita menelaah konstitusional tertinggi negara ini memang mempunyai konsensus secara kolektif dalam memberangus kemiskinan dan menciptakan iklim keadilan bagi seluruh masyarakatnya, tanpa ada yang diistimewakan sama sekali, baik yang mempunyai harta berlebih maupun yang berkekurangan pendapatannya.
Kemiskinan harus secepat mungkin diatasi oleh Negara beserta perangkat-perangkatnya, karena membuat penyengsaraan yang berkepanjangan bagi manusia, mulai dari generasi ke generasi selanjutnya. Kita jangan lagi memperpanjang usia jenis tumbuhan benalu (baca: kemiskinan) ini, bisa mematikan pohon yang dihinggapinya dan membuatnya semakin tidak berdaya.
Wacana ini sebenarnya tidak menarik lagi menjadi bahan diskoursif, hampir dari berbagai aspek kehidupan diuraikan tanpa ada penjelasan mengenai mengatasi kemiskinan. Dari beberapa dialog yang pernah diikuti oleh penulis, baik kampus ataupun dialog yang diselenggarakan oleh pemerintah, hanya membuat wacana ini menjadi fosil.
Aspek politik, ekonomi dan lain sebagainya, secara teoritik terurai eksplisit dan implisit, namun tidak ada implikasi yang pasti menyentuh pada tataran kemiskinan. Kenapa mesti orang-orang sibuk memikirkan bagaimana mendapatkan profit dengan cara praktis (baik halal maupun haram)? kan tetapi tidak tahu dampak besar yang ditimbulkan akibat keserakahan dan ketamakan ini.
Tidak bisa secara substansial dilakukan prningkatan taraf hidup dan pendapatan bersama—singgungan keras pernah terlontar oleh Pemerintah Daerah (penulis lupa daerah mana)— bahwa apabila masih didapati orang-orang yang malas bekerja, maka bersiap saja untuk menjadi sampah di mata masyarakat.
Bagaimana orang tidak bermalas-malas sedangkan lapangan pekerjaan tidak bisa diakses oleh masyarakat kelas menengah kebawah atau masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan? Yang diprioritaskan adalah orang yang mempunyai kapital, dan punya basis massa, meskipun tidak memenuhi prosedur perekrutan tenaga kerja.
Hal inilah luput dari kacamata pemerintahan yang mestinya secepat mungkin membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat miskin untuk meningkatkan taraf hidupnya. Bukan hanya saja sekedar retorika dan janji manis di depan public, akan tetapi menghasilkan pembuktian bahwa kemiskinan yang mengkristalkan saat ini, harus dimusnahkan biar menjadi makhluk yang fana. Sehingga kehidupan sosial kemasyarakatan, berbangsa dan bernegara bisa hidup rukun dan mempunyai prioritas keadilan yang musti diberikan oleh segenap rakyat.
Okelah kalau misalnya terbuka akses dan ada kebijakannya soal Kartu Pra-Kerja. Akan tetapi, masyarakat yang berdomisili di wilayah pedalaman, kemungkinan besar tidak bisa terdaftar dan semakin terpuruk atas derita menyebalkan (baca: kemiskinan). Bilamana tidak diberikan pendidikan teknologis di daerahnya.
Kolektif intelektual amat penting bergerak aktif guna membantu masyarakat miskin demi berkontribusi dan membantu tugas negara meskipun tidak diberikan penghargaan bintang 5 (prestisius) dari pemerintah. Dedikasi tanpa nama dan imbalan untuk membayar mahar perubahan yang lebih baik adalah bukti nyata untuk diteladankan bagi generasi selanjutnya.
Tak lupa pula lewat edukatif, keterlibatan langsung terasa. Jika negara mendapati realitas sosial yang berpenyakit, maupun sebelum mendapati suatu gejala, langkah strategis yang dilakukan adalah pencegahan agar bangsa ini berpengaruh terhadap Civil of world. Dan menjadi basis percontohan masyarakat global.
Komentar
Posting Komentar