Hantu Masa Lalu Yang Kembali Dihidupkan
Penulis : Muh. Rafly Setiawan
"Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan dan humanity above religion—Gusdur."
Saya terheran-heran mendapati berbagai narasi agitatif di media sosial yang mencoba menghidupkan kembali hantu masa lalu. Dengan ulasan-ulasan yang utopis, penerangannya bahwa antek-antek Partai Komunis Indonesia (PKI) akan mengambil alih tampuk kekuasaan negeri. Entah apa yang coba diselipkan dari narasi tersebut, yang pasti menimbulkan reaksi dan sangat meresahkan publik.
Dalam salah satu group whatsaap, saya menemukan selebaran yang amat kontroversial. Pada kalimatnya berbunyi, "jejak history masa lalu dalam penumpasan G30S/PKI merupakan sejarah kelam bangsa ini. Akan tetapi sekarang ini, malah penerus ideologi komunis makin merajalela di Indonesia. Mari tumpas sampai ke akar-akarnya". Pasalnya, bagaimana mungkin ideologi tersebut akan booming, sedangkan Indonesia menganut ideologi futuristik yakni Pancasila, Sampai-sampai dalam narasi tersebut ditutup dengan kalimat takbir sebanyak tiga kali. Sungguh sangat disayangkan, isu ini akan berefek pada 'SARA'.
Apakah memang betul traumatik sejarah membuka ruang halusinasi bagi banyak orang? Mengapa masih banyak kalangan yang amat resah, jika para penganut ideologi komunis bermukim di Indonesia? Apakah ada korelasinya dengan pengambil-alihan kekuasaan di masa depan? Bagaimana seharusnya kita dapat selektif dalam memilah informasi yang penuh hatespeech? Ini pertanyaan yang membuyarkan kepalaku, dan akan saya ulas sedikit soal ini.
Di tengah kesibukan bersama tentang cara penanganan untuk memutus mata rantai wabah Covid-19, kita lagi-lagi dibuat pusing tujuh keliling dengan isu yang dapat dikatakan telah expired. Namun, ada saja orang-orang yang memakai akun buzzers bodong di media sosial yang mencoba memperkeruh suasana dalam ruang-ruang publik. Produksi wacana memang jadi langkah strategis dalam menguasai komoditas konsumerisme untuk menebar jala provokatif di media online.
Yang amat sensasional dari beragam issue kekinian, selain dari ketidak-optimalnya penyaluran bantuan sosial dari pemerintah, terdapat soal issue PKI yang merebak luas di jaringan internet. Seakan-akan, kita dibuat mengalami pengembalian sejarah yang tiada hentinya. Saya percaya siklus sejarah dapat ditemui berulang kali, namun pentingnya mempelajari sejarah tidak lebih hanya sebagai pondasi dalam memperbaiki tatanan masa kini dan menyongsong masa depan.
Kalau kita lahir di masa Orde Baru, akan kita lihat di setiap tanggal 30 September, berulang kali tayang di channel TV perbuatan kejam dari anggota PKI. Memang membuat gejolak batin menonton peristiwa tersebut. Begitu banyak menelan korban jiwa dari kejadian berdarah, awal transisi Orde Lama menuju Orde Baru. Nyawa melayang secara sia-sia, dan label Ekstapol (singkatan dari Eks Tahanan Politik) menjadi sanksi sosial bagi orang-orang yang terbukti maupun tidak terbukti bagian dari Partai terlarang. Ini sudah menjadi rahasia umum, teramat menyedihkan orang-orang yang tercantum tanda "ekstapol" pada kartu tanda penduduknya di masa itu. Bahkan berimbas pada, seluruh korporasi agar tidak menerima para ekstapol tersebut untuk bekerja apapun jenis pekerjaan itu.
Menguak fakta belakangan ini, memasuki era reformasi, berusaha untuk membalikkan pemburaman sejarah yang dilakukan pada rezim Orde Baru. Maka dengan hal itu, salah satu upaya Presiden RI yang ke-IV, yakni KH. Abdurrahman Wahid, adalah dengan memberikan hak dan kewajiban para ekstapol dan menghilangkan label 'ekstapol' tersebut dalam identitas kependudukan. Alhasil, negara berhak memberikan hak asasi untuk warganya tanpa memandang latar belakang sosialnya. Ini termuat secara eksplisit dalam peraturan perundang-undang Republik Indonesia dan bersesuaian dengan Pancasila.
Seiring berjalannya waktu, pembelaan terhadap PKI amat digandrungi oleh para pegiat kemanusiaan. Bahwa kemudian, sejarah mestinya dibuat secara faktual dan sportif. Artinya, PKI tidak sepenuhnya bersalah dalam tragedi berdarah di masa silam, melainkan banyak pihak dan oknum yang turut berperan secara membabi-buta. Lantaran, PKI dijadikan sebagai kambing hitam politik dari lawan politiknya. Tapi itu semua perlu ditinjau dengan pelacakan secara periodik sejarah Indonesia. Toh juga, PKI punya kontribusi besar terhadap kemerdekaan Indonesia dan sepakat bahwa Pancasila merupakan asas tunggal Negara Kesatuan Reoublik Indonesia, serta mengakui bahwa UUD 1945 adalah konstitusi tertinggi negara ini.
Saya tidak berusaha untuk membela PKI, atau menjadi penganut mazhab komunis, karena saya tidak satu pun akrab dengan pemikiran komunis. Namun demikian, yang saya coba terangkan tentang issue 'antek-antek PKI' yang kembali dibangkitkan adalah bagian dari teori konflik dan rekayasa sosial yang dimainkan oleh para pihak yang tidak senang melihat Indonesia hidup rukun dan berdampingan.
Will to power, memang selalu jadi hasrat politik bagi setiap manusia. Makanya setiap upaya dalam meraih suksesnya kekuasaan, memakai perangkat-perangkat yang melanggar hukum. Terbukti hari ini, masyarakat amat panik soal lapak buku yang mendistribusikan secara tersurat, buku-buku yang mengandung ideologi komunis 'katanya', hingga dilakukan razia besar-besaran. Disisi lain, kewaspadaan kita juga dalam menyetop akselerasi dari pandemi Covid-19.
Sesungguhnya, wacana yang menghidupkan kembali kepanikan ideologi komunis, merupakan hal-hal yang berpotensi mengandung issue SARA. Jika kita menemukan wacana PKI yang berseliweran di media online, maka kita cukup membacanya saja, dan ingat jangan dibagikan karena akan mengembalikan memori traumatik masyarakat. Itu merupakan gerak pasif dalam menghentikan produksi wacana hoaks.
Masihkah kita dihantui oleh ideologi komunis? Nyatanya kita semua sepakat bahwa asas tunggal negara ini adalah Pancasila. Kita jangan tenggelamkan pada dimensi utopis, karena kalau kita terjebak, maka penyangsian terhadap realitas sosial akan membuat kita mengalienasi diri sendiri. Bahkan menjadi pemilik masa lalu saja, bukan pemilik hak paten di masa depan.
Sekiranya di masa hyper digital ini, bukan lagi harus benturan ideologi, seperti kata 'Samuel P. Huntington', melainkan dapat terlibat aktif untuk menjadikan Indonesia sebagai lahan percontohan negara unggul di tahun 2045. Kalau kita masih adu mulut dan adu jotos soal ini, maka peluang Indonesia di masa depan akan sirna. Alhasil, kita terseok-seok dan tunggang-langgang di berbagai sektoral.
Kita harus menghentikan aktivitas yang dapat mengundang ujaran kebencian dan berpotensi memecah-belah masyarakat yang heterogen di seantero negeri ini. Saya tetap berpedoman dari nasihat KH. Wahab Chasbullah (salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama), bahwa "tiada senjata yang paling ampuh selain persatuan". Dan wejangan dari Mbah Maimoen Zubair maupun Prof. Qurais Shihab, bahwa "perbedaan mestinya dimaknai sebagai jalan menuju persatuan. Bukan justru dimaknai sebagai pemecah persatuan dan perdamaian". Apabila kita menginginkan kehidupan yang harmonis, kita harus akrab dengan hidup yang plural dan mengenali segala jenis belantika pemikiran yang menjadi ilmu pengetahuan buat manusia.
Diakhir tulisan ini, saya berharap bahwa apa yang terjadi di masa lalu jangan pernah sesekali dipenetrasikan pada masa kini. Sesungguhnya, itu membuat bangsa ini mengalami kemunduran. Seyogianya kita segenap pelanjut cita-cita negeri ini, bahu-membahu (kalau kata Bung Karno, 'gotong-royong) untuk mewujudkan satu persatu harapan para pendahulu demi bakti kita terhadap Ibu Pertiwi.
Semoga semuanya lekas beranjak menuju pada tatanan yang lebih baik lagi, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat unggul sesuai prediksi para peneliti Internasional di tahun 2045. Mari seraya berkata 'Amiinn', dan tetap jaga iman serta tingkatkan imun pada diri.
Komentar
Posting Komentar