Reformasi telah mencapai usianya yang ke 21 tahun, tepat pada tanggal 21 Mei 2019. Pembacaan surat terbuka dan resmi di deklarasikan oleh Soeharto di tahun 1998 mengundurkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia setelah tiga puluh dua tahun lamamnya menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.

Gelora kebahagian dan kesedihan menggema di langit indonesia pasca beliau membaca surat keputusan tersebut, namun seiring telah runtuhnya tirani orde baru hingga beberapa kali pergantian kepala pemerintahan indonesia, tetap tidak menuai substansi dari reformasi itu sendiri. Kendati demikian, atmosfer reformasi kian redup di karenakan agenda reformasi hanya dalam dunia fantasi saja (Utopis).

Maraknya pengulangan sejarah yang telah kita dapati seperti korupsi dan kejahatan hak asasi manusia (HAM) masih terjadi secara signifikan, sektor pendidikan masih belum mencapai taraf standarisasi dari pendidikan itu sendiri serta kejahatan agraris (sengketa lahan) masih merajalela sehingga menyengsarakan masyarakat kelas menengah kebawah.  

Bisa dikatakan bahwa reformasi hanya bersifat adiktif dan delusif sehingga tercipta ilusi yang terjerembah dalam halusinasi bagi traumatik yang telah di alami. Berbagai kepentingan tak mampu mendapatkan esensi dari kemaslahatan bersama, karena di pusatkan kepada segelintir golongan untuk mengeluarkan atau menghadirkan kebijakan secara sepihak.

Belum lagi kita menelaah reformasi itu sendiri bahwa hakikat reformasi memberikan hal yang solutif untuk mengejewantahkan kesenjangan sosial yang terjadi dan mengabsahkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang termuat dalam butir Pancasila (sila ke-5).

Sudah selayaknya seluruh elemen masyarakat dan beserta komponen/perangkat pemerintahan saling bermutualisme untuk memperbaiki sistem tatanan yang telah dicederai oleh kalangan tertentu. Untuk itu, kita berangkat dari skala kecil yaitu tahapan awal adalah menjalankan sepenuhnya konstitusi tanpa melihat latar belakang sosialnya. Kemudian tahapan kedua, adalah perlu melakukan proses sosialisasi bagi masyarakat sehingga masyarakat paham akan hak dan kewajiban sebgai warga negara.

Tahapan ketiga, melakukan proses revitalisasi dan rekonsiliasi kepada seluruh warga negara sehingga melahirkan resolusi dan alternatif yang paling dibutuhkan bagi masyarakat guna penerapannnya tak lagi adanya sikap menciderai satu sama lain. Kemudian yang keempat, yaitu menjaga nilai-nilai kemanusiaan atas apa yang selama ini masih didapatkan proses dehumanisasi bagi kalangan yang hanya memikirkan golongan ataupun dirinya sendiri.

Menciptakan harmonisasi kehidupan dan penanaman keadilan dalam prinsip proporsional, harus dilakukan secepat mungkin untuk menghindari apa yang menjadi tantangan bagi kita semua, sebab perdamaian yang sejati bisa terasa manakala tak ada indikasi kekerasan fisik maupun non-fisik.

Bersatulah dalam bingkai kemerdekaan dan lanjutkan estafet reformasi itu sendiri untuk bisa menjadi jawaban atas permasalahan yang terjadi di sekitar kita atau lingkungan kita. Jadilah pejuang reformasi yang tak kenal lelah dan tak mengenal kata menyerah sehingga terjadi stimulus bersikap dalam keselarasan optimis pada diri sendiri dan untuk orang banyak.


Credit by  : sahabat Rafli Setiawan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Akhir Tahun ( Tidak hanya mengetahui, Indonesia harus dimengerti )

Desa Sebagai Lapisan Pemerintahan Paling Dekat Dengan Rakyat

Moderasi Berpikir dan Fenomena 'Syariatisasi'