Tindakan Kekerasan Dalam Paradoksal Demokrasi

Penulis : Muh. Rafly Setiawan

https://saripedia.wordpress.com


Dalam pengertian umum kekerasan merupakan aktivitas individu atau kelompok yang membuat individu maupun kelompok lain dapat mengalami cidera fisik maupun nonfisik. Namun, penulis akan membahas praktik kekerasan dalam kaitannya dengan sistem demokrasi, entah itu yang berlaku di Negara Indonesia maupun yang dipegang teguh oleh beberapa negara adidaya seperti Amerika Serikat ataupun Uni Eropa.

Lebih spesifik, meninjau pelaksanaan tugas praktis penegak hukum yang begitu banyak melakukan tindakan represif sehingga terdapat hubungan paradoksal antara civil society dan law enforcer (elite class) dalam sistem demokrasi. Seperti yang diketahui, maraknya kekerasan fisik terhadap warga negara dalam negara yang menganut sistem demokrasi, telah menjadi rahasia umum.

Bila ditelusuri jejak historis maupun landasan filosofisnya, terdapat pergeseran makna dengan apa yang kerap kali dilakukan oleh beberapa institusi penegak hukum. Alhasil, menegasikan kedaulatan mutlak rakyat, dan seolah-olah civil society hanya menjadi subjek pendapatan negara, misalnya ladang perpajakan.

Ini menjadi anomali, bahwa pengaburan nilai dan pemaknaan demokrasi, sesungguhnya berakibat dari multiple-interests antar elite kelasnya. Bukan hanya represif semata, rasisme pun merupakan bentuk kejahatan atas kemanusiaan yang berpotensi menciptakan konflik dan berbuntut pada genosida, Ini tidak lain merupakan dampak dari perlakuan kekerasan sepihak dan serampangan.

Awal bulan Juni tahun 2020, dunia dibuat tegang atas kematian seorang warga negara Amerika Serikat yang berkulit hitam bernama George Floyd. Dia mengalami penganiayaan dan kekerasan dari kulit putih berbasis diskriminasi rasial. Ironisnya, pihak yang melakukannya adalah aparat kepolisian di Kota Minneapolis−United Stated America−bernama J. Alexander Keung.

Namun apa yang terjadi? Sanksi yang diberikan pun terkesan ringan. Hanya diberhentikan dari jabatan dan dipenjarakan selama beberapa pekan saja, karena telah dibebaskan pada 19 Juni 2020. Lagi-lagi penemuan esensial atas bom dinamit dari ketidakjelasan elite class dalam menerjemahkan demokrasi untuk merambat masuk pada birokrasi.

Menelisik dalam dua dekade ke belakang, bentuk diskriminasi dari penegak hukum seperti aparat kepolisian telah menjelma bak penjagal. Banyak kasus yang sampai saat ini tenggelam dan belum diusut tuntas. Misalnya, kasus pelanggaran HAM (Marsinah serta Widji Tukul) dan penyerangan terhadap mahasiswa di area perguruan tinggi kenamaan Indonesia (seperti kampus Tri Sakti dan lain-lain) pada penghujung rezim Orde Baru. 

Sudah berapakah jumlah kasusnya yang telah diselidiki dan apakah pelakunya sudah di adili? Ibarat fenomena gunung es, apa yang nampak itu merupakan bayangan dari bentuk sebenarnya di bawah air. Toh, masih sering terjadi aksi Kamisan di depan Istana Merdeka dari pihak keluarga korban atas tindakan bengis aparat penegak hukum  dan sampai detik ini pelakunya bebas berkeluyuran tanpa rasa kebersalahan.

Untuk mencapai hakikat demokrasi Indonesia, maka terjadilah peristilahan Reformasi yang sampai saat ini masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Lantaran, semakin mencuatnya ke permukaan kasus-kasus diskriminasi dan tindak kekerasan dari aparat kepolisian terhadap para petani yang membela hak kedaulatan atas tanahnya, kematian Moenir, kematian Salim Kancil, diskriminasi rasial, dan masih banyak lagi yang mengendap bagaikan jamur di pinggir kayu lapuk.

Setahun yang lalu, masih hangat dalam ingatan kita bagaimana peran aparat penegak hukum di lapangan saat melancarkan kebrutalannya terhadap para demonstran yang menolak RUU KUHP dan RUU KPK yang menuai kontroversi.

Kelakuan tersebut seakan membuka kotak Pandora dalam box demokrasi, dan penyampaian aspirasi (baik berupa rekomendatif, kritik, maupun saran) medium class maupun Grass Root amat dibungkam oleh aparat kepolisian. Sehingga membuat ratusan demonstran mengalami luka fisik berat, bahkan menelan korban jiwa.

Anehnya, kasus tersebut hanya dianggap sebagai angin berlalu. Lantaran, “katanya” bukti untuk menindaklanjuti hasil investigatif dari aparat penegak hukum dianggap minim ( Yah wajar saja, karena keberpihakan hanya mengacu jika "pakaian" yang digunakan bahagian dari institusi negara ) bahkan menyalahkan para demonstrasi (bahasa topeng dari birokrat).

Seperti kasus meninggalnya dua mahasiswa Universitas Haluoleo Kendari−Sulawesi Tenggara−bernama Randi dan Muhammad Yusuf Kardawi. Mereka berdua ditembak oleh anggota kepolisian yang sedang bertugas untuk mengawasi demonstrasi mahasiswa di Kendari.

Yang membuat kasus ini janggal adalah, ketika Kapolda Kendari dipindah tugaskan dan dianggap gagal mendalami kasus kematian dua mahasiswa Universitas Haluoleo, namun masuk dalam jajaran Mabes Polri, bukannya diturunkan dari jabatannya. Dan malah sampai saat ini, oknum pelaku masih bebas berkeliaran, bahkan tengah bertugas kembali dalam institusi aparat kepolisian.

Begitupun dalam kasus penyiraman air keras oleh aparat kepolisian kepada Novel Baswedan yang berbuntut kecacatan fisik seumur hidup. Hampir kasus ini tenggelam selama tiga tahun, akan tetapi atas perjuangan beberapa aktivis yang menolak praktik korupsi dalam elite pemerintahan dan mendukung Novel, akhirnya pelakunya ditangkap.

Namun apa daya, tuntutan oknum pelaku hanya setahun saja oleh jaksa penuntut umum. Dengan dalih, kurangnya bukti yang ditemukan aparat penegak hukum untuk menjeratnya sebagai penganiayaan berat. Wajarlah, toh aparat kepolisian punya kuasa dalam negara dengan memutar balikkan logos dan principle demokrasi yang berasaskan Pancasila.

Amat rumit "menelanjangi" tindakan kekerasan aparat penegak hukum agar dijerat sanksi berat. Karena dalam "jubah" reformasi, hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah (meminjam istilah Muhammad Iqbal).

Supremasi hukum dipertanyakan jika tidak ada kepastian hukum buat aparat penegak hukum yang melakukan pelanggaran. Beda soal kalau masyarakat biasa, pasti didakwa bertahun-tahun lamanya mendekam dalam sel tahanan, seperti yang dialami oleh banyak aktivis lingkungan dan para petani yang direbut paksa tanahnya atas nama negara.

Kasus terkini dari represif aparat penegak hukum, dapat dilihat dari aksi demonstrasi yang dilakukan oleh PC PMII Pamekasan tanggal 25 Juni 2020. Terdapat salah seorang kader PMII bersimbah darah atas perbuatan aparat kepolisian, akibat dari uppercut bertubi-tubi yang mendarat telak diwajahnya, dan sepatu laras yang bertengger di dadanya. Sehingga, harus dilarikan ke rumah sakit dan menjalani perawatan intensif. Namun saat ini belum ada upaya tindak lanjut aparat kepolisian untuk mengadili oknum pelaku.

Para pembaca sekalian, harap menunggu episode selanjutnya dari hasil investigasi aparat penegak hukum. Semoga saja diberikan sanksi berat kepada pelaku penganiayaan, supaya ini menjadi catatan akhir dari perbuatan represif aparat penegak hukum yang seharusnya melayani, melindungi, dan mengayomi masyarakat, entah itu menyampaikan aspirasinya dalam public area dan lain sebagainya. Karena kebebasan berekspresi itu termaktub dalam UUD 1945 pasal 28.

Jika kasus tersebut hanya berlalu begitu saja, maka telah terjadi ketidakpercayaan pada sistem demokrasi (atau dalam bahasa filsafat politik Giorgio Agamben, kedaruratan demokrasi). Karena perbuatan demikian sangatlah meninggalkan bekas lebam terhadap human humanization dalam dimensi humanity.

Apakah memang betul bahwa hakikat demokrasi hanya berlaku pada elite class sehingga mengekslusi beberapa kelas-kelas sosial dalam kehidupan inklusif demokratis? sesungguhnya inilah sebab dari terjadinya ketidakselarasan dalam tafsir sistem demokrasi (efek dari despotisme oleh institusi negara).

Poin besarnya adalah, beragam permasalahan yang dihadapi dalam kasus kepidanaan terdapat ketidakseriusan penanganan aparat penegak hukum. Layak menjadi bahan evaluatif, dan tentu saja kita mengharapkan agar institusi pemerintah dapat berjalan sesuai amanatnya yang termuat dalam aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Sehingga mendatangkan people’s hopes of democracy.

Kendati demikian, Penulis masih memercayai bahwa sistem demokrasi lebih baik dari sistem-sistem kenegaraan yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Namun yang jadi catatan kakinya adalah kemauan kolektif untuk menyingkirkan paradoksal dalam sistem demokrasi yang sekarang ini perlu ditata ulang kembali (pembaharuan reformis).

Konteks abad 21 memungkinkan kita untuk terus kreatif mencegah para pihak yang ingin memburamkan prinsip demokrasi. Meminjam istilah Gusdur, The Stolen Revolution dalam buku Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia & Transformasi Kebudayaan).

Tidak ada pembenaran apapun dalilnya untuk mempergunakan demokrasi sebagai alat instrumental dalam membisukan people's voice. Sekali lagi, ketahanan demokrasi Indonesia diuji kelayakannya dalam membuka topeng kemunafikan atas praktik kesewenang-wenangan birokratnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Akhir Tahun ( Tidak hanya mengetahui, Indonesia harus dimengerti )

Desa Sebagai Lapisan Pemerintahan Paling Dekat Dengan Rakyat

Moderasi Berpikir dan Fenomena 'Syariatisasi'