Pilih Model Apa; Ilmiah Atau Sastra?

Penulis : Muh. Rafly Setiawan


sumber gambar : https://www.daniebinsakim.wordpress.com







Di tahun 2020, begitu pelik problem yang menjadi tantangan seluruh negara di dunia, tanpa terkecuali Indonesia. Bukan hanya soal pandemi Covid-19, namun juga dalam bidang kepenulisan. Butuh penjelasan yang autentik, terkait penulis yang dilematis dalam menentukan orientasi tulisan.

Pertanyaan yang kerap muncul, apakah perlu untuk mengoneksikan sebuah tulisan dengan menyisipkan teori para penulis terdahulu? Ataukah tidak terlalu penting dalam penguatan argumentatif pada tulisan untuk menyentol sebuah teori penulis lain? Ini akan saya ulas sedikit hal agar tidak terjadi dis-orientatif saat menulis.

Sejauh amatan penulis, mendapati frasa yang begitu populer dalam dunia keilmiaan, "tulisan yang baik dan benar adalah tulisan yang menyelipkan ide dan gagasan para penulis tersohor agar tulisan itu dapat diterima sebagai acuan akademis". Misalnya, kala hendak menuliskan fenomena politik yang mengalami ketidakjelasan perihal menciptakan kekuasaan yang bijaksana dalam mengatur kehidupan warga negara. Tentu saja, landasan teoritiknya perpaduan dari berbagai pemikir untuk melacak historical dari keterputusan pemahaman soal bias politik.

Barangkali beberapa pemikir pun layak dipersandingkan dan saling dipertautkan sebagai kejelasan referensi, seperti Plato, Aristoteles, Cicero, Stoa, St. Agustinus, St. Thomas Aquinas, Niccolo Machiavelli, Thomas Hobbes, John Locke, Jean-Jacques Rousseau, Montesquieu, dan masih banyak lagi dapat ditambahkan daftarnya. Ini memungkinkan untuk menarik simpul-simpul longitudinal sekaligus teatrikal agar kesahihan sebuah tulisan dapat menemukan objektivitas. Sehingga, penelanjangan politik di era modern maupun abad 21 yang terlalu deterministik (meminjam istilah Karl Marx) atau merujuk adagium Friedrich Nietzsche yakni 'Will To Power', dapat diuraikan secara sistematis. Dan sudah pasti, ketersingkapan politik menindas dalam setiap babakan sejarah, mampu terkuak tabirnya.

Contoh di atas merupakan keabsahan agar mengejar kredibilitas sebagai akademisi (seperti mahasiswa, dosen, para teoritik, dan sebagainya), tentu menggunakan model seperti itu. Jika kita sedikit blunder atau keluar dari kaidah akademik dalam menghasilkan artikel, opini, maupun buku, maka kompetensi kita dapat diragukan. Dalil ini sah dalam dunia kepenulisan ilmiah, karena tak pelak lagi bahwa setiap ide dan gagsan kita yang hendak dieksplorasikan, maka perlu bantuan teori yang linear untuk mendapatkan pengakuan definitif sebagai akademisi.

Pengerjaan dan penyelesaian seperti skripsi, tesis, disertasi, dan sebagainya, tidak akan dapat sahih. Bilamana tidak mengikutsertakan—setidak-tidaknya—para filsuf monumental, maka sekali lagi, impian jadi akademisi kian fiktif. Itu pun, perlu kreatifitas kita dalam meriwayatkannya agar tetap faktual. Ini buktikan begitu penting aktivitas menulis dengan produktif, diselaraskan dengan kreatifitas si penulis.

Kendati demikian, saya menemukan beberapa tulisan yang amat krusial terkait dengan ketidakpatuhan mengikuti pola tersebut. Bahwa kemudian, kita dapat populer sebagai penulis dengan bantuan nama filsuf terkenal. Bahkan, diberi cap sebagai pendompleng popularitas semata, seperti epigon, imitator dan sebagainya yang tentu maknanya terdengar nyaring di telinga.

Dalam dunia pendidikan manapun yang punya keabsahan ilmiah, sangatlah membutuhkan peranan teoritik filsuf lain. Kita patut apresiatif terhadap para akademisi yang berhasil menyelesaikan tulisannya, meski teramat banyak ditemukan nama-nama dalam 'daftar pustaka' pada karyanya. Karena itu bagian yang tidak lepas dari kreatifitas dan produktifitasnya.

Saya dapat menyepakati ungkapan satire, bahwa "penulis yang masih menyisipkan nama penulis masyhur dalam tulisannya merupakan pendompleng popularitas". Apabila kita menulis dengan model novel, puisi, cerpen dan sebagainya. Karena menjadi seorang novelis maupun cerpenis, hanya membutuhkan penguatan imajinatif tanpa perlu untuk menyertakan teori konseptual dari penulis/pengarang lain. Memang begitu kontras komparasinya, antara model penulisan ilmiah dengan model penulisan yang cenderung sastrawi, atau dapat dikualifikasikan pada corong objektivitas dengan subjektivitas.

Namun demikian, masing-masing mempunyai 'privilese' tersendiri. Lantaran, keseimbangan ide dan gagasan tertuang secara kreatif dalam aktivitas menulis yang produktif. Sisa kembali kepada diri sendiri tentang kedisiplinan dalam menggunakan pola seperti apa, tanpa harus 'mengeleminir' sebagai orang-orang yang dapat menghasilkan karya. Sudah barang tentu, setiap penulis punya tipologinya masing-masing yang berbeda secara teknis dengan penulis lain.

Meski demikian, hal yang penting bagi kita semua, termasuk saya sendiri, dalam memaksimalkan segenap potensi yang dimiliki. Entah itu kemauan kita menjadi seorang novelis ataukah sebagai akademisi. Karena sandarannya adalah perkawinan pada kreatifitas dan produkifitas dalam membumbuhi tulisan. Juga dibutuhkan masukan dan saran dari orang lain, agar dapat menambah sesuatu yang atraktif pada tulisan.

Barangkali dalam tulisan ini dapat menggistkan kita untuk menulis dan berliterasi. Tentu, impact dari pandemi, tidak akan menghambat kita dalam menghasilkan karya. Penulis mengharapkan, lepas dari wabah Covid-19, seluruh kalangan dapat berkarya untuk meraih tampuk keemasan pada literasi di Indonesia.

Ini dapat menjadi start-up awal pada recovery tahun-tahun selanjutnya. Untuk itu, semangat berkarya, seyogianya menjadi gerakan intelektual kolektif dalam membersamai keunggulan Indonesia di masa depan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Akhir Tahun ( Tidak hanya mengetahui, Indonesia harus dimengerti )

Desa Sebagai Lapisan Pemerintahan Paling Dekat Dengan Rakyat

Moderasi Berpikir dan Fenomena 'Syariatisasi'