Soal Literasi Di Kota Palopo

sumber gambar : pelajaran.co.id

"Sadarilah kebodohan yang bersemayam di dalam jiwa, agar kita akrab dengan belajar sampai akhir hayat."

Kota Palopo merupakan salah satu daerah yang letak geografisnya di provinsi Sulawesi Selatan. Dari ibu kota provinsi, yakni Makassar, kurang lebih 8 jam perjalanan yang harus ditempuh untuk sampai ke kota tersebut, tentunya dengan akses darat. Kota yang terkenal dengan makanan khasnya, seperti Kapurung dan Pacco ramai disambangi para penggila kuliner.

Berbagai suku, agama, etnis, dan antar golongan hidup rukun nan bersahaja di tempat ini. Nyaris ditemukan adanya benturan kelompok yang mengakibatkan korban jiwa. Kalau pun ada, itu berarti hanya benturan kelompok fanatisme, baik agama, politik dan sebagainya.

Boleh dikatakan, kota ini begitu jauh dari cipratan ilmu pengetahuan, disisi lain kota palopo berdimensi pendidikan. Dikarenakan Tradisi membaca masih belum digeluti oleh masyarakatnya secara signifikan. Walaupun terdapat penggila buku dan bahan bacaan, mungkin segelintir saja. Belum lagi soal tradisi menulis, hampir-hampir produktifitas membaca tidak dikelola secara kreatif untuk mengembangkan keterampilan menulis.

Wajar kalau Kota ini belum terang benderang dalam kemampuan membaca masyarakatnya, apalagi intensitas menulis buat berkarya. Aksesnya teramat jauh dari titik kordinat ladang pengetahuan di wilayah pulau Jawa tempatnya para penulis handal,  bisa dibuktikan dengan melihat penerbit buku, baru secuil yang ada di Kota Pendidikan ini.

Informasi terkini, ditinjau dari buku fisik, masih sangat jarang diperbaharui. Ini bisa kita cari tahu di perpustakaan Kota Palopo yang buku-bukunya sangat lawas dan kurang disegarkan. Begitu pun toko buku, belum menyediakan berbagai varian buku, baik buku pintar, buku anak, ensiklopedi, akademik maupun fiksi masih jauh dari harapan.

Saya mengurai ini dengan gamblang, lantaran bentuk keresahan yang sontak mengubah paradigma tindakan dalam pengembangan berliterasi di Palopo. Memang beberapa komunitas dan organisasi pegiat literasi terdapat disini. Tetapi belum mampu berkembang pesat seiring arus digitalisasi kian berkelindan menemani keseharian. Ataukah mungkin, para pegiat literasi tersebut jarang tudang sipulung (duduk bersama) untuk membincang mengenai peningkatkan tradisi literasi dan menjadi wahana yang di senangi oleh masyarakat Kota Palopo. Silahkan di temukan sendiri pandangannya,,,,

Sampai detik ini, kita bisa lihat, produksi buku yang murni hasil karya warga Palopo terbilang minim dan jauh dari kelayakan. Boleh jadi, faktor utamanya adalah kemalasan membaca dan kemandekan berpikir yang menjadi penghalangnya. Patut direnungkan bersama, dan menata kembali apa yang pantas kita lakukan sesama masyarakat Palopo.

Saya akan mencoba membawa pembaca sekalian berkaca pada peradaban Barat. Sebelum terjadinya zaman Renaisance (akrab kita kenal dengan pencerahan) di Eropa, mereka pernah mengalami kemandekan berpikir. Untungnya, dengan cepat mereka menyadari hal tersebut. Bayangkan saja, hanya berselang kurang lebih 3 abad (dari abad 13 sampai 16) mereka berhasil merajai tahta pengetahuan dan sampai saat ini belum bergeser sebagai sumber peradaban, baik itu teoritik maupun secara praktikum.

Awalnya mereka mengubah pola perilaku keseharian masyarakatnya, dengan memerintahkan secara serempak untuk melek aksara dan meningkatkan daya membaca. Mereka pun menunjukkan nafas segar pengetahuan seiring kemunculan para pemikir termashyurnya. Tradisi membaca itu kemudian berkembang pesat dengan wahana menulis. Bahkan sampai hari ini, kita sangat mengenal tokoh-tokoh pemikir barat, seperti Rene Descartes, David Hume, John Locke, dan masih banyak lagi yang bisa ditambahkan daftarnya.

Saya mencoba mengajak untuk melihat kembali ke peradaban ranaisance, agar kesadaran berliterasi itu tumbuh subur di Palopo sejalan dengan kemampuan membaca dan menulis. Spirit literasi peradaban Barat maupun Arab beserta energi kemajuannya yang telah dipelajari - selayaknya tertanam kuat mulai dari pikiran, sehingga timbul keyakinan tangguh dalam membangun Renaisance di Kota Palopo.

Tentu sekarang ini, kita harus getol membaca secara massal dan mengolah hasil bacaan melalui tulisan. Upaya tersebut akan mengental sebagai tradisi literasi untuk menerangi warga Palopo.

Amat primer disadari, dunia ini telah terbelah dua. Dunia berdasarkan laring, dan alam daring. Untuk itu, memaksimalkan kecanggihan teknologi bisa menjadi corong buat kita berliterasi dengan bahagia.

Meskipun saat ini, kita masih waspada terhadap virus Corona, tetapi tak menghambat kita berliterasi melalui smartphone. Menyalurkan tulisan dengan media platform edukatif sehingga dapat terbaca oleh masyarakat digital.

Kaum rebahan yang tengah beristirahat di rumah, sesekali menyempatkan waktu buat menulis, tentu membaca harus dirutinkan. Mungkin saja, hasil pemikiran kita yang tertuang melalui tinta hitam, bisa menginspirasi beberapa kalangan. Bonusnya adalah termuat di media cetak maupun digital yang menjadi kanal tumbuh-kembangnya semangat literasi.

Saya menuliskan ini bukan untuk dicap pintar, tetapi sesungguhnya saya menyadari masih bodoh hingga detik ini. Dari keterbodohan itu, akan membangkitkan semangat belajar yang tiada hentinya. Ini pun perlu pembaca cermati apa yang saya maksudkan, agar tak terjadi kekeliruan pemaknaan.

Saya teringat dengan fragmen yang pernah disampaikan sahabatku kala berdialog dengannya. Kurang lebih seperti ini, "ijazah yang kita dapatkan ditambah beberapa tempelan title pada nama, hanya sekedar simbol bahwa pernah menyelesaikan pendidikan formal. Namun itu bukan penanda lampu merah untuk kita berhenti belajar, membaca dan menulis". Terakhir, rawatlah ingatan dengan membaca, ikatlah bacaan dengan tulisan, sehingga transformasi keilmuan bisa diserap dengan penuh manfaat seluruh masyarakat Palopo dan Indonesia.

Ditulis oleh ; Rafly Setiawan


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Akhir Tahun ( Tidak hanya mengetahui, Indonesia harus dimengerti )

Desa Sebagai Lapisan Pemerintahan Paling Dekat Dengan Rakyat

Moderasi Berpikir dan Fenomena 'Syariatisasi'