Fiqh Sebagai Etika Sosial, Bukan Sebagai Hukum Negara


Dalam upaya menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia, kita akan di pertemukan dengan pertentangan-pertentangan horizontal antar manusia itu sendiri dan akan lebih kompleks kebuntuan yang akan kita temukan jika memandang banyak negara yang di hidupi oleh satu bangsa, sebaliknya akan terjadi harmonisasi apabila meyakini satu negara yang di hidupi oleh berbagai macam bangsa.

Indonesia yang hidup beragam suku, agama, ras dan budaya menghadapi pertarungan ideologi atau paham yang sejak dulu telah di prediksikan oleh para pendiri bangsa. hal tersebut memang mesti kita amini, namun bukan berarti menerima tanpa melakukan perbaikan. Penerimaan atau  menganggap itu suatu kewajaran tidak patut menjadi landasan berfikir yang absoulut.

Sebab transformasi ilmu dengan mengkontekstualkan teks-teks yang menjadi sumber pengetahuan atau keyakinan akan mendinamisasi suatu ideologi sehingga tidak mengalami kebuntuan kapan pun dan dimana pun penyebarannya sedang berkembang tanpa bertentangan dengan kebudayaan lokal. lebih tepatnya di NU telah di ajarkan tentang mempertahankan nilai lama yang baik dan menerima budaya baru yang lebih baik.

Upaya-upaya kontekstual tersebut nyatanya telah berperan dan berpengaruh besar terhadap penyebaran agama Islam di Negara Kesatuan Republik Indonesia, melalui akulturasi agama dan kebudayaan menjadikan pemeluk agama islam di negeri ini menjadi yang terbanyak. Namun tetap harus diyakini pula bahwa kita adalah orang indonesia yang kebetulan ber agama islam dengan begitu kita disebut muslim.

Mengenai awal perkembangan muslim di indonesia terdapat sejarah panjang yang sebagian besar tidak di dapatkan di bangku sekolah dan perkuliahan. Beberapa fakta sejarah tidak diajarkan mengenai perkembangan islam, mungkin disinggung hanya sekilas tapi tidak diajarkan sebagai bentuk infestasi sosial dan kultur sebagaimana yang terdapat dalam karya Agus Sunyoto " Atlas Walisongo".

Pesantren tempat kiyai dan santri menjadi lumbung penanaman pemahaman agama dan kebudayaan di ajarkan. Sementara pembelajaran yang diberikan kepada para santri niasanya kiyai mengikuti sanad, artinya diajarkan secara turun-temurun dari kiyai sepuh sampai ke anak cucu yang kelak melanjutkan kepemimpinan pesantren, dengan begitulah tradisi-tradisi pengajaran itu bertahan sampai saat ini.

Maka konsep-konsep pengajaran masih sesui dengan tujuan keberadaan pesantren yaitu menjadi wadah pengkajian keislaman dan menanamkan nilai-nilai sosial kepada para calon santri dan santri. Sekalipun mengalami perubahan sistem pengajaran karena mengikuti perkembangan zaman, namun secara subtansial akan tetap sama ; mempertahankan islam rahmatan lil alamin, mencegah kehancuran sesama bangsa melalui keyakinan hubbul wthan minal iman.

Kita ambil satu contoh yaitu K.H.Muhammad Sahal Mahfuzh berpendapat bahwa Fiqh sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum negara. K.H.Muhammad Ahmad Sahal Mahfuzh merupakan satu di antara ulama terkemuka indonesia zaman iniyang memberikan apresiasi tinggi dan respons positif terhadap gagasan fiqh kontekstual.

Hal yang paling menarik dari pemikiran K.H Ahmad Sahal adalah pandangannya tentang fiqh sebagai kumpulan pemikiran ulama yang sejatinya dibuat untuk menciptakan moralitas kemanusiaan. Ia menyebutkan dengan adagium fiqh sebagai etika sosial bukan sebagai hukum negara.

Desakannya tentang keniscayaan proses pembaruan atau pengembangan atau pengembangan dalam bahasa yang dinilainya lebih tepat sehingga melahirkan produk yang relevan sesuai dengan zaman yang berubah mengantarkannya pada gagasan untuk mengambil basis-basis fundamental kebijakan  ialah kemaslahatan sosial (publik).

Kemaslahatan sosial ( publik ) yang dimaksud dalam hal ini tidak terbatas pada kerangka hukum ( menghindarkan kerusakan dan membawa kebaikan ) belaka, melainkan pada peewujudan kehidupan sosial yang menghargai hak-hak dasar manusia ; Hifzhud din ( perlindungan atas keyakinan ), hufzhun nafs ( perlindungan atas hak hidup ), hifzhul aql ( perlindungan atas akal, hifzhul nasl ( perlindungan atas hak reproduksi, dan hifzhul maal ( perlindungan atas hak milik).

Itulah prinsip-prinsip dasar kemanusiaan universal yang sudah lama di canangkan oleh imam al -Ghazali. Cendekiawan dan filsuf muslim kontemporer asal Mesir, menyatakan bahwa lima prinsip kemanusiaan tersebut merupakan dasar bagi kesejahtraan bangsa yang di yakini semua agama. Tanpanya kesejahtraan dunia tidak akan terwujud dan keselamatan di akhirat tidak akan di peroleh.

"Fiqh sebagai etika sosial bukan sebagai hukum negara". Dasar dari pandangan tersebut tentu saja karena K.H. Muhammad Ahmad Sahal Mahfuzh sangat paham dan ingin menjaga eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan prinsip-prinsip demokrasi yang mendasarkan diri pada hak-hak asasi manusia universal tanpa pemikiran-pemikiran untuk menegarakan hukum islam  atau memformalisasi hukum islam (fiq).

Sementara, dari tinjaun fiqh sendiri, beliau sudah menyatakan bahwa produk - produk fiqh itu sangat plural. Umat islam berhak untuk memilih dan pilihan itu sah serta harus di hargai.

baca buku ; "islam tradisonal yang terus bergerak"

K.H. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh dilahirkan pada 17 Desember 1937 di desa Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa tengah. Ia tumbuh besar di pusaran keluarga pesantren yang selama beberapa generasi memiliki tradisi "melahirkan" ulama. Kiai Sahal adalah putra K.H. Mahfud Salam, adik sepupu salah satu pendiri NU K.H. M. Bisri Syansuri. 

Lahir di lingkungan santri membuat Sahal kecil terbiasa dengan didikan ala pesantren yang mengedepankan disiplin penguasaan ilmu-ilmu agama. Setelah belajar di bawah asuhan kedua orang tuanya, Sahal muda beringsut ngangsu kawruh pada Kiai Muhajir di Pesantren Bendo, Kediri. Ia kemudian hijrah ke Sarang, Rembang, ngaji di bawah asuhan Kiai Zubair. 



Credite by ; Sahabat Admin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Akhir Tahun ( Tidak hanya mengetahui, Indonesia harus dimengerti )

Desa Sebagai Lapisan Pemerintahan Paling Dekat Dengan Rakyat

Moderasi Berpikir dan Fenomena 'Syariatisasi'