Ekofeminisme: Perempuan, Alam dan budaya


Manusia yang selalu bergantung pada lingkungan--esensinya tidak lebih kurang dari alam--seharusnya sadar menjadi mahkluk duniawi harus saling menjaga, tanpa melihat perbedaan. Kita yang selalu berbicara mengenai prularisme, perlu memaknai bahwa plural itu bukan hanya tentang menghargai perbedaan yang ada sesama manusia, tetapi juga tentang saling menghargai yang bukan manusia, termaksud alam. Terutama bagi kita, “kaum perempuan (Ekofeminis)”. 

Berbicara mengenai eko-feminisme, berarti menyoal tentang relasi perempuan dan Alam. Eko-feminisme merupakan sesuatu yang relatif baru dalam etika ekologis. Sebenarnya istilah dari ekofeminisme muncul pertama kali tahun 1974 dalam buku Francoise d’Eaubonne, yang berpandangan bahwa hubungan langsung antara operasi perempuan dan alam itu ada. 

Ekofeminisme menjelaskan relasi perempuan dan hak-haknya terkait alam dan lingkungan. Ekofeminisme membongkar keterkaitan manusia dengan alam yang tidak terkait gender. Apalagi sampai bias gender.

Perempuan memiliki kearifan khas dalam mengelola sumber daya lokal. Perempuan mempunyai pengetahuan yang mendalam dan sistematis mengenai proses-proses alam. Bahkan perempuan memiliki keyakinan bahwa alam harus selalu dipulihkan secara terus menerus.

Mungkin ekofeminisme sebagai gerakan perempuan dalam memperjuangkan dampak-dampak ekologis dan bahwa hubungan perempuan dan alam itu tidak dapat dipisahkan (kohesif). Perempuan memiliki gin/ekologi yang cenderung membuka, mengembangkan jaringan yang kompleks dari hubungan perempuan yang hidup dari alam. Sehingga dari hal tersebut sangat penting menyadari perjuangan menjaga kestabilan dan keseimbangan alam harus kita lakukan dengan giat.

Alam memiliki nilai yang tidak dapat direduksi kedalam kegunaannya bagi kebudayaan patriarki, apalagi hanya difokuskan kepada laki-laki. Karya perempuan dan karya alam adalah satu kesatuan yang terakomodasikan. Kekayaan alam sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia, tanpa terkecuali.

Walaupun masih banyak aspek yang meminggirkan relasi perempuan dan alam. Hubungan antara perempuan dan alam dan posisi perempuan hanya sebagai jembatan dan perempuan hanya sebagai penengah antara dirinya sendiri dengan alam. Namun semua ekofeminis yakin bahwa manusia adalah saling berhubungan satu sama lain, dan juga berhubungan dengan dunia, binatang, tumbuhan dan benda-benda diam lainnya. 

Kita yang selalu menyoal mengenai gerakan perempuan yang selalu kita perbincangkan harusnya kita pertanyakan dan mencari solusi yang tepat. Dengan keadaan manusia  hari ini, saya berpendapat bahwa dalam perjuangan perempuan, yang sudah mencapai emansipasinya harusnya lebih terarah pada perjuangan menjaga alam. Ekofeminisme harus kita perjuangan para perempuan khususnya.

Persoalan perempuan bukan hanya mengenai haknya di politik, sosial, pendidikan,dan di ruang publik saja. Namun perempuan harus sadar mengenai tugas dan tanggung jawabnya yaitu Hablumminalalam, yaitu hubungan manusia dengan alam.

Perjuangan perempuan dan alam harus dipadukan agar kesetaraan yang selalu digaungkan para feminis dapat tercapai. Seperti yang dikatakan Warren bahwa seorang feminis haruslah seorang ekofeminis. Ia berargumentasi bahwa feminisme adalah gerakan melawan naturalisme, dan pada saat yang sama pula melawan gerakan seksisme. Perjuangan kita hari ini, harusnya melihat persoalan secara tuntas dengan membongkar segala bentuk penindasan, yakni suatu kebudayaan yang dapat menghargai perempuan dan alam adalah salah satu penyelamat bagi dunia ini. 

Seperti yang digaungkan ekofeminisme spritual, mengatakan bahwa hubungan perempuan dengan alam lebih diuntungkan ketimbang hubungan laki-laki dengan alam. Melalui pengalaman tubuh perempuan yang unik sesuai fitrahnya, karenanya perempuan mengetahui dengan cara yang tidak dapat diketahui laki-laki bahwa manusia adalah satu dengan alam. Upaya kita untuk menyatukan manusia dan alam  melalui budaya yang ada di masyarakat, menjadikan budaya dan adat bukan hanya sebagai tahayyul maupun menyalahkannya, tetapi melihat sisi positifnya, terutama bagi alam. Karena kebudayaan bagian integral dari alam.

Maka dari itu, saya menyimpulkan bahwa perjuangan ekofeminisme ini tidak dapat berhasil ketika kita perempuan hanya menjadikannya wacana, namun perjuangan itu akan menemui pencapaianya ketika kita mulai melakukannya dalam aktivitas keseharian. Kesadaran adalah kuncinya. Menuntut kesetaraan dan keadilan tercapai, ketika kita bisa menjalankannya dengan konsisten. Jangan jadikan konstruksi dalam logika itu berakhir egoisme dan antagonistik terhadap alam.

Apa yang sepenuhnya saya tuliskan adalah upaya untuk mendapatkan kesadaran kolektif. Mendaur-ulang segala kekeliruan yang bias. Solidaritas kolektif pun kembali menjadi centrum kebersamaan. Selamat merdeka wahai perempuan yang berjuang.

Sumber: Buku “Feminisme Thought" pengantar paling komprehensif kepada arus utama pemikiran feminis”, Karya Rosemarie Putnam Tong.

Penulis : Sahabat Ummu Kalsum

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Akhir Tahun ( Tidak hanya mengetahui, Indonesia harus dimengerti )

Desa Sebagai Lapisan Pemerintahan Paling Dekat Dengan Rakyat

Moderasi Berpikir dan Fenomena 'Syariatisasi'