Sedikit Pemahaman Tentang HAM Di Indonesia
Pada tanggal 10 Januari 1948 terjadi konsensus di global yaitu Deklarasi Hak Asasi Manusia yang memuat beberapa point penting bagi seluruh negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) _{Baca: Musdah Mulia, soal HAM}_.
Implikasi adanya deklarasi tersebut adalah Perang Dunia Ke-Dua, Terlebih ketika terjadinya sikap represif oleh seluruh angkatan bersenjata di beberapa negara adidaya, secara mutlak ungin berkuasa dengan membumi-hanguskan beberapa kota seperti Nagasaki dan Hiroshima.
Senada dengan itu, revolusi kemerdekaan Indonesia pun menghasilkan cita-cita yang sudah mengkaji lebih dalam soal Hak Asasi Manusia. Bisa ditelisik lebih jauh dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan kesepakatan multi-dimensional yaitu Pancasila.
Bahkan komponen bangsa saling bersinergi mengawali pembangunannya dengan menasionalisasi aset-aset para penjajah, yakni perusahaan-perusahaan swasta sepeninggalan penjajah diambil alih oleh pemerintah Nasional dan diperuntukkan secara proporsional bagi seluruh rakyat.
Dari rezim orde baru sampai Reformasi, pelanggaran HAM masih banyak di temukan atas instrumental pemerintah melegitimasinya untuk kepentingan politis, sehingga terjadi kriminalisasi warga negara sampai pada penculikan, bahkan melenyapkan nyawa.
Pasca reformasi Dirumuskannya UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Dan terdapat Komisi Nasional HAM yang ditugaskan secara independensi untuk menyelidiki isu-isu maupun tindakan yang sewenang-wenangnya (ketidak-adilan).
Indonesia pasca Reformasi 1998-2019, hampir setiap hari kita temukan kasus-kasus pelanggaran HAM dan terkadang tidak di tindak lanjuti sampai pada rana pengadilan.
Sementara Komnas HAM sebagai fungsi mediasi hanya sebatas rekomendasi-rekomendasi yang belum tentu dijadikan acuan bagi pemerintah. Tugas lainnya pun sebagai lembaga mediasi yang tidak tersebar di seluruh wilayah Indonesia (Mulai dari Sabang sampai Merauke).
Di tahun 2019 ini, para pejuang kemanusiaan mempunyai kesempatan yang sangat penting untuk merevisi kemungkinan-kemungkinan dalam kerancuan struktur hierarkis perundang-undangan.
Kendati demikian, seluruh komponen negara harus terlibat aktif menetapkan revisi UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM agar bersifat objektif dan konkret. Karena sampai hari ini pun, klasifikasi soal Hak Asasi Manusia tidak mampu dikategorikan.
Kurangnya kepakaran para ahli hukum untuk menafsirkan kepastian dari UU tersebut. Bahkan seringkali ketika mendatangi pendiskusian sekaitan dengan HAM, menuai perdebatan sengit yang berkutat pada argumentatif dan menghasilkan bahan dasar yaitu solusi.
Hampir-hampir, yang menginisiasi kegiatan itu pula kurang mampu menarik kesimpulan yang secara pasti karena hanya serangkaian hipotesis-hipotesis normatif yang korelasinya belum sampai pada universal.
Para pembela Hak Asasi Manusia, hanya membutuhkan landasan hukum yang bisa memberikan protektif baginya. Karena sudah familiar adanya intimidasi, teror, kriminalisasi kecil, bahkan sampai kriminalisasi besar (pembunuhan).
Dengan hadirnya rumusan hukum yang mampu membuat para pembela HAM tak gentar lagi sekaitan dengan gangguan psikis, dan psikologisnya terhadap oknum-oknum pelanggaran HAM.
Kronis nyatanya bahwa dominasi instansi pemerintahan dan aparat sipil negara acapkali membuat tindakan yang menciderai ketaatan hukum di Indonesia, dan bahwa ketidakberpihakannya terhadap masyarakat yang dikebiri hak-haknya.
Para pembela HAM mempunyai prinsip bahwa ketika mendapati perilaku dari oknum-oknum tertentu, mereka tidka mungkin melakukannya juga dengan prinsip rakyat tidak pernah salah, dan konsisten akan terealisasinya empat pilar Indonesia (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945).
Bahan perevisian bagi yudikatif, seyogyanya memerhatikan beberapa kasus belakangan ini terjadi atas pelanggaran HAM. Asas yurisprudensi sangat penting bagi penetapan UU tersebut Sehingga tidak ditemukan lagi kerancuan hukum Indonesia.
Pola pikir harus diproyeksikan dengan pemahaman Hak Asasi Manusia atau nama lainnya Nilai-Nilai Kemanusiaan dalam metode praksisnya, mampu menetralisir ketimpangan ketidak adilan dalam kacamata sosial maupun seluruh aspek-aspek kehidupan.
Iklim demokrasi dikembalikan nilainya, karena sejalan dengan prinsip dasar Negara Indonesia. Proses demokratis tak lagi di tunggangi oleh satu kelompok tertentu saja, akan tetapi demokratisasi berlaku bagi seluruh segmentasi kehidupan.
Stimulus inilah yang kemudian di segala sektoral tersirat keadilan yang kepastiannya meminimalisir konflik-konflik yang konstruktif mengakar di budaya Indonesia. Entitas Indonesia dilirik oleh beragam bangsa sebagai patokan akan keberhasilan penegakan HAM di ibu pertiwi.
Credite by : Sahabat Muh. Rafly Setiawan
Komentar
Posting Komentar