Tradisi vs islam (isme-isme)


Virus takhayul, bid'ah, dan churafat akhir akhir ini kian merambah hampir kesetiap pelosok pelosok negeri. Tradisi dan budaya yang masih kental dulunya dikalangan masyarakat pedesaan kini mulai dihinggapi virus itu, hingga kemudian mulai luntur dan sedikit demi sedikit dan mulai ditinggalkan dengan dalih takut dicap sebagai pendusta agama, syirik bahkan kafir. Ngeriiii bukan?

Banyaknya kelompok-kelompok "ustadz milenial" muncul membawakan kajian Islam dengan tingkat pemahaman agama yang masih minim _parsial_ (sepotong-potong), bisa dibilang mereka jauh dibawah dari para kiyai-kiyai pendahulu yang tidak diragukan lagi, bahkan sanad keilmuan yang sampai ke Rasulullah Saw, (sedikit anekdot terlintas saya menganggap kalau ust milenial mirip seperti motivator).Tidak sedikit dari mereka yang tidak segan-segan mengatakan bid'ah, sampai mengatakan haram dan kafir kepada tradisi dan budaya yang sudah lama dilakukan oleh orang-orang tua pendahulu.

Mari kita sama-sama koreksi dan merefleksi, apakah semua tradisi dan budaya yang dilakukan oleh para pendahulu dan dilakukan dari generasi ke generasi itu semua tidak baik, meski itu tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah dan para sahabat.

Ada sebuah tradisi yang sampai saat ini masih dilakukan oleh sebagian orang, contoh seperti misalkan selametan/berkatan (baca-baca), barzanji, tahlil, atau ziarah kubur misalkan. Perang pendapat dalam persoalan tersebut sering terjadi pada tahun 1950 an , 1960 dan atau sebelumnya bahkan kini mulai kembali mencuak dan ramai diperbincangkan di permukaan. Meski begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa kurangnya minat belajar memahami agama secara terbuka memang terkesan akan menghasilkan sebuah perdebatan yang sia-sia.

saya disini mencoba mengangkat permasalahan yang menurut saya ini juga penting dibahas, karna saya sendiri pernah berdiskusi dengan salah satu dosen dikampus saya dan tidak ada titik terangnya, hehe tapi itu sebelum saya dapat referensi yang jelas. Pastinya ini juga akan memacu cara berfikir kita tentang pemahaman kita mengenai tradisi ataupun yang menjadi amalan kiyai terdahulu

Yang pertama adalah tawasul, jika dilihat dalam segi bahasa, tawasul artinya perantara, yang artinya sama dengan istighosah, isti'anah, tajawwuh, dan tawajjuh. Tawasul sendiri secara istilah artinya "wasilah adalah segala sesuatu yang dapat menjadi sebab sampainya pada tujuan". Yang dimaksud dengan tawasul disini adalah "memohon datangnya suatu kemanfaatan atau terhindar nya bahaya kepada Allah dengan menyebut nama nabi atau wali untuk menghormati keduanya. S

Dasarpijakan pelaksanaannya adalah firman Allah dan hadits nabi sbb;

•Qs Al-maidah:35 

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ.....

(Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah, dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepadanya)

•Qs An-nisa:64

....وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا

(Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang).

•hadita riwayat Bukhari
Dari sahabat Annas, ia mengatakan: pada zaman umar bin khaththab pernah terjadi muslim paceklik, ketika sholat meminta hujan, umar bertawassul kepada paman rasulullah, abbas bin abdul muththalib: kemudian umar berkata ya tuhan, dulu kami memohon kepada-mu dengan tawassul kepada nabi-mu, maka engkaupun menurunkan hujan kepada kami, dan kita (sekarang) memohon kepadamu dengan tawassul kepada paman nabi-mu, maka turunkanlah kepada kami, allah pun menurunkan hujan kepada mereka.

Dari dasar tawassul tersebut, dapat diambil pemahaman bahwa yang dimaksud dengan tawassul sebagaimana yang diungkapkan oleh syeikh al-zahawiy : yang dimaksud istighosah dan tawassul dengan para nabi dan orang-orang yang shalih adalah mereka itu merupakan sebab-sebab dan perantara untuk tercapainya tujuan. Dan hakikatnya Allah-lah pelaku yang sebenarnya (yang mengabulkan doa) sebagai penghormatan kepada mereka, sebagaimana hal itu menjadi keyakinan yang benar dalam segala macam perbuatan.

Dari problema diatas yang menjadi permasalah adalah 
1) apakah para nabi atau para wali yang sudah meningal-dunia itu masih menyadari, merasakan, dan mengetahui kondisi kehidupan kita? 
2) apakan para nabi atau para wali yang sudah meninggal-dunia itu masih bisa mendengar tawassul kita dengan mereka?
3) apakah para nabi atau para wali mampu membantu dan memberi manfaat kepada kita dari alam mereka?

Jawabannya adalah 
1). Qs Ali-imran:169 
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ

 Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.

Qs At-taubah:105
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ...
Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu

2) hadits nabi
Dari Annas bin malik, beliau berkata: rasulullah Saw bersabda: para nabi itu hidup dialam kubur mereka dan mereka melaksanakan sholat. (Hadits riwayat imam al-baihaqiy)

Adapun hukum bertawassul ialah, para ahli hukum bersepakat bahwa hukum bertawassul atau beristighosah kepada nabi muhammad Saw dan para wali adalah mubah (boleh), dan dianjurkan dalam islam baik mereka masih hidup atau sudah meninggal, baik dengan para nabi ataupun orang-orang sholeh. Sebab bertawassul itu pada hakikatnya adalah menjadikan sesuatu sebagai suatu perantara agar do'a yang telah disampaikan, dapat dengan segera terkabulkan.

Dapat dilihat dari pernyataan Imam Syafi'iy (150-204 H / 767-819 M) dari ali bin maimun, beliau berkata: aku telah mendengar imam Syafi'iy berkata: aku selalu bertabarruk dengan abu hanifah dan mendatangi makam nya dengan berziarah setiap hari. Jika aku mempunyai hajat, maka aku menunaikan sholat dua rakaat lalu aku datangi makam beliau dan aku memohon hajat itu kepada Allah disisi makamnya, sehingga tidak lama hajatku kemudian segera terkabulkan.

Tidak hanya tawassul yang hangat diperbincangkan bahkan melahirkan perdebatan, ziarah kubur pun tidak kalah populernya didiskusikan dikalangan masyarakat yang ingin menambah khazanah keislamannya. 

Tradisi ziarah kubur ini sudah menjadi pandangan umum di masyarakat jawa khususnya warga nahdliyyin (NU), ziarah kubur ini biasa dilakukan pada setiap hari kamis sore atau juma't pagi, sebab pada waktu itu dianggap sebagai waktu senggang bagi Meraka yang ketepatan libur dihari jum'at, apalagi bagi santri pondok pesentren diberbagai daerah, yang tentunya pergi mengunjungi makam para kiyai atau keluarganya merupakan kinjungan rutinitas dan prioritas, bahkan bagi mereka yang sedang berda dirumah, biasanya mengunjungi makam ayah inunya ataupun leluhurnya. Ziarah dalam bahasa diartikan sebagai kunjungan, jika kata ziarah dihubungkan dengan  dengan kata kubur, "ziarah kubur" secara istilah diartikan sebagai aktivitas dengan maksud mendo'akan orang yang telah meninggal-dunia dan mengingat kematiannya.

Adapun landasan hukum berziarah kubur ialah mubah (boleh), bahkan dianjurkan dalam agama, baik laki-laki maupun perempuan. Hukum ini disandarkan pada hadits nabi "dari buraidah ia berkata: rasulullah saw bersabda: saya pernah melarang kamu berziarah kubur. tapi sekrang, muhammad telah diberi izin untuk berziarah ke makam ibunya. Maka sekarang, berziarah lah. Karna perbuatan itu dapat mengingatkan kamu pada akhirat (HR turmudziy) "

Dari beberapa hadit tentang ziarah kubur yang pernah nabi keluarkan, para ahli hukum berkomentar dalam berbagai kitab diantaranya:

1 Kitab lh ya ulum al-din,

Dan ziarah kubur secara global hukumnya sunnah mustahab untuk peringatan dan pelajaran, dan men-ziarahi kubur orang yanh sholeh juga sunnah mustahab karna mencari barokah sekaligus menjadi pelajaran (yakni mengingatkan akan kematian( dan rasulullah SAW pernah melarang ziarah kubur lalu kemudian mengizinkan itu. dan riwayat ali r.a, Dari rasulullah Saw bahwa beliau bersabda " saya telah melarang kalian untuk berziarah kubur maka berziarah lah karena sesungguhnya ziarah kubur adalah peringatan bagimu sekalian atas akhirat kecuali kalian bilang hijrah". Tiada pernah beliau kelihatan menangis yang melebihi tangisan nya pada saat itu. Dan pada saat itu pula bersabda " saya telah diizinkan ziarah kubur tanpa istighfar".

2. Kitab kasyf al-syubuhat

hadits dari Hisyam bin salim: setelah 75 hari ayahnya (nabi muhammad) meninggal, fatimah tidak lagi tampak murung, ia selalu ziarah ke makam para syuhada' dua hari dalam seminggu, yakni setiap hari senin dan kamis, berucap : disini makam rasulullah.

masih banyak fatwa ulama dalam berbagai kitab, dan riwayat lain yang menjelaskan permasalah tawassul dan ziarah kubur diatas, kiranya beberapa penjelasan diatas bisa cukup diterima dan dicerna sebagai penambah pemahaman kita mengenai bertawassul kepada nabi dan para wali juga ber-ziarah kubur. Mengenai tawwasul sendiri berdasarkan uraian diatas, itu dibolehkan dengan maksud berhajat atau meminta berkah yang baik melalui perantara barokah yang dimiliki para nabi dan wali. Meskipun tetap, bahwa Allah swt lah zat yang mengabulkan doa kita. Tapi juga Bukan berarti diperbolehkan meminta pesugihan (hehehe)

Saya mengutip beberapa quotes yang mengatakan ;
1."dalam berdakwah, NU meneruskan metode dakwahnya para Walisongo. Dakwah itu merangkul bukan memukul. Dakwah itu mengobati, bukan menyakiti. Dan termasuk diantaranya contoh dari tidak menyakiti adalah tidak memakai kata-kata yang menurut pemahaman mereka, menyakitkan"

2.pendapat kita benar, tetapi (didalamnya pasti masih) mengandung kemungkinan salah. Dan Pendapat selain kita salah, tetapi (didalamnya pasti masih juga) mengandung kemungkinan benar. (Pimpinan cabang LTNNU kab. Jombang)

Credit by ; Sahabat Hari Irawan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Akhir Tahun ( Tidak hanya mengetahui, Indonesia harus dimengerti )

Desa Sebagai Lapisan Pemerintahan Paling Dekat Dengan Rakyat

Moderasi Berpikir dan Fenomena 'Syariatisasi'